Look up

Sabtu, 11 Januari 2014

Oleh;
Mukhammad Aqil Muzakki

           
Dalam mempelajari konstitutsi suatu Negara, dapat merupakan cabang ilmu politik atau Ilmu Hukum Tata Negara, karena kedua cabang ini sama-sama menjadikan ”konstitusi” sebagai fokus bahasannya. Sebaliknya dalam konstitusi juga terkandung materi muatan yang meliputi ruang lingkup bahasan ilmu politik maupun ilmu hukum tata negara. Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Wiryono, Konstitusi memuat peraturan-peraturan pokok (fundemental) mengenai sendi-sendi bernama ”negara”. Sendi-sendi itu tentunya harus kuat dan tidak akan mudah runtuh, agar bangunan ”negara” tetap berdiri.

A.    Konstitusi
1.     Pengertian
Istilah kostitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Sedangkan istilah Undang-undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa Belandanya Gronwet. Perkataan wet merupakan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia undang-undang, dan grond berarri tanah / dasar.[1]
Konstitusi dalam arti luas, yaitu keseluruhan peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak, yang mengatur secara singkat cara-cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suat masyarakat. Demikian pula pengertian konstitusi dalam ketatanegaraan di inggris, termasuk dalam pengertian konstitusi yang luas, yaitu berupa peraturan-peraturan pokok mengenai tata pemerintahan, baik berupa perundang-undangan, piagam-piagam maupun putusan-putusan perlemen. Montesqureu memberikan arti konstitusi sebagai tata cara bekerjanya parlemen di inggris, atau dengan kata lain, sampai dimana hak-hak dan kewajiban perlemen dan bagaimana perlemen bekerja sesuai dengan hak-hak dan kewajibannya tersebut.[2]
2.     Nilai Konstitusi
Karl Loewenstein menyimpulkan ada tiga nilai dari konstitusi.
a.   Nilai Normatif
Suatu konstitusi yang telah dinyatakan secara resmi dalam suatu negara, maka ia mempunyai kekuatan mengikat untuk ditaati dan dilaksanakan. Maka konstitusi itu bukan hanya secara legal (yuridis-dalam arti hukum) berlaku, tetapi juga berlaku dalam kenyataan baik secara material,sosiologis maupun politis dengan kata lain konstitusi itu harus berlaku sepenuhnya secara efektif  (dalam istilah populer dilaksanakan secara murni dan konsekuen). Apabila konstitusi telah dapat dilaksanakan sesuai isi dan jiwanya baik dalam produk hukum maupun dalam bentuk-bentuk kebujakan pemerintah maka berarti konstitusi itu telah bernilai normatif.[3]
b.   Nilai Nominal
Konstitusi yang mempunyai nilai nominal berarti secara hukum konstitusi itu berlaku, tetapi kenyataannya kurang semupurna. Sebab pasal-pasal tertentu dari konstitusi tersebut dalam kenyataannya tidak berlaku.
c.   Nilai Semantik
Suatu konstitusi disebut mempunyai nilai semantik jika konstitusi tersebut secara hukum tetap berlaku, namun dalam kenyataannya adalah sekedar untuk memberikan bentuk dari tempat yang telah ada, dan dipergunakan untuk melaksanakan kekuasaan politik. Jadi, konstitusi tersebut hanyalah sekedar suatu istilah berlaku, sedangkan dalam pelakasanaannya hanyalah dimaksudkan untuk kepentingan pihak penguasa. [4]

B.     Supremasi Konstitusi dalam Negara
Pada intinya kedudukan konstitusi dalam suatu negara bisa dipandang dari dua aspek, yaitu aspek hukum dan aspek moral :
1.     Konstitusi dilihat dari aspek hukum mempunyai derjat tertinggi (supremasi). Dasar pertimbangan supremasi konstitusi itu adalah karena beberapa hal :
a.     Konstitusi dibuat oleh Badan Pembuat Undang-undang atau lembaga-lembaga.
b.     Konstitusi dibentuk atas nama rakyat, berasal dari rakyat, kekuatan berlakunya dijamin oleh rakyat, dan ia harus dilaksanakan langsung kepada masyarakat untuk kepentingan mereka.
c.     Dilihat dari sudut hukum yang sempit yaitu dari proses pembuatannya, konstitusi ditetapkan oleh lembaga atau badan yang diakui keabsahannya.
Superioritas konstitusi bukan hanya untuk rakyat / warga tetapi juga bagi para penuasa dan bagi badan pembuat konstitusi itu sendiri.
2.     Jika konstitusi dilihat dari aspek moral landasan Fundamental, maka konsitusi berada di bawahnya. Dengan kata lain, konstitusi tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai universal dari etika moral. Oleh karena itu dilihat dari constitutional phyloshofi, apabila aturan konstitusi bertentangan dengan etika moral, maka seharusnya konstitusi dikesampingkan. William H. Seward mencontohkan bahwa konstitusi yang mengesahkan sudah sewajarnya tidak diikuti.[5]

C.     Esensi Konstitusionalisme
Esensi konstitusionalisme, minimal terdiri atas dua hal, yaitu :
1.     Konsepsi negara hukum yang menyatakan bahwa secara universal kewibawaan hukum haruslah mengatasi kekuasaan pemerintah yang karenanya hukum harus mampu mengontrol dan mengendalikan politik.
2.     Konsepsi hak-hak sipil warga negara yang menggaris adanya kebebasan warga negara di bawah jaminan konstitusi sekaligus adanya pembatasan kekuasaan negara dasar legitimasinya hanya dapat diperoleh oleh konstitusi.
Terkait dengan kedua ciri minimal itu maka beberapa hal yang harus ditegaskan di dalam konstitusi adalah :
a.     Public authority hanya dapat dilegitimasi menurut ketentuan konstitusi.
b.     Pelakasanaan kedaulatan rakyat (melalui perwakilan) harus dilakukan dengan menggunakan prinsip universal and equal suffrage dan pengangkatan eksekutif harus melalui pemilihan yang demokratis.
c.     Pemisahan atau pembagian kekuasaan serta pembatasan wewenang.
d.     Adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri yang dapat menegakkan hukum dan keadilan baik terhadap rakyat maupun terhadap penguasa.
e.     Adanya sistem kontrol terhadap militer dan kepolisian untuk menegakkan hukum dan menggormati hak-hak rakyat.
f.      Adanya jaminan  perlindungan atas HAM.
g.     Supremasi hukum dalam arti memberi posisi sentral pada hukum sebagai pedoman dan pengarah menurut hearkisnya dan menegakkannya tanpa pandang bulu.
h.     Jaminan atas rakyat untuk menikmati hak-haknya secara bebas berdasarkan ketentuan hukum yang adil.
i.      Kebebasan pers untuk mengungkap dan mengekspresikan kehendak, kejadian dan aspirasi yang berkembang di dalam masyarakat maupun aspirasi institusi pers itu sendiri.
j.      Partisipasi masyarakat dalam setiap proses kenegaraan.[6]

D.    Sifat Konstitusi
Pada umumnya konstitusi yang berlaku dalam negara-negara yang ada di dunia ini adalah konstitusi rigid. Negara-negara yang mempunyai konstitusi yang bersifat fleksibel (dari perubahannya), tidak banyak penetapan konstitusi yang tidak mudah (rigid) dengan maksud agar tidak mudah orang / penguasa mengubah hukum dasarnya. Kalau memang perubahan itu sangat diperlukan, maka perubahan itu haruslah benar-benar demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Menurut K.C. Wheare ada empat sasaran yang hendak dituju dalam usaha mempertahankan konstitusi dengan jalan mempersulit perubahannya. Adapun empat sasaran itu tersebut ialah :
1.     Agar perubahan konstitusi dilakukan dengan petimbangan yang masak, tidak secara sembarangan dan dengan sadar (dikehendaki).
2.     Agar rakyat mendapat kesempatan untuk menyampaikan pandangannya sebelum perubahan dilakukan.
3.     Agar dan ini berlaku dalam negara serikat, kekuasaan negara serikat dam kekuasaan negara-negara bagian tidak diubah semata-mata oleh perbuatan-perbuatan masing-masing pihak secara tersendiri.
4.     Agar hak-hak perorangan atau kelompok seperti kelompok minoritas bahasa atau kelompok minoritas agama atau kebudayaannya mendapat jaminan.[7]
Menurut Savornin Lohman ada tiga unsur yang terdapat menyelinap dalam tubuh konstitusi-konstitusi sekarang, yaitu :
a.     Konstitusi dipandang sebagai perwujudan perjanjian masyarakat (kontrak sosial) sehingga menurut pengertian ini, konstitusi-konstitusi yang ada adalah hasil atau konklusi dari persepakatan masyarakat yang akan mengatur mereka.
b.     Konstitusi sebagai piagam yang menjamin hak-hak asasi manusia berarti perlindungan dan jaminan atas hak-hak manusia dan warga negara yang sekaligus penentuan batas-batas hak dan kewajiban baik warganya maupun alat-alat pemerintahannya.
c.     Sebagai forma regimenis, berarti sebagai kerangka banguanan pemerintahan, dengan kata lain sebagai gambaran struktur pemerintahan negara.[8]

E.     UUD 1945 dan Konstitusionalisme
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa UUD 1945 selalu melahirkan pemerintahan yang otoriter dan korup. Jawaban singkat untuk pertanyaan ini adalah karena UUD 1945 tidak memuat secara ketat materi-materi yang secara subatantial harus ada pada setiap konstitusi yakni perlindungan HAM dan pembatasan kekuasaan bagi penyelenggara negara. Secara lebih rinci jika kajian atas isi UUD 1945 didekati dengan studi social legal dan kultural tentang sejarah konstitusionalisme, HAM, dan demokrasi dapat tampak bahwa UUD 1945 memang tidak memenuhi syarat sebagai aturan main politik yang (seharusnya) mewadahi konstitusionalisme .
Maka jelas bahwa gagasan konstitusinalisme bukan merupakan fungsi resdiual kebebasan dan HAM yang diserahkan (sebagai sisa) kepada negara dan pemerintah. Di dalam konstitusionalisme ditentukan bahwa untuk melindungi HAM maka kekuasaan pemerintahan harus dibatasi dan dikontrol secara baik jenis maupun waktunya agar tidak terjadi korup dan kesewenang-weangan.[9]   

F.     Konstitusi Republik Indonesia Serikat
Beberapa hal yang perlu diketahui sehubungan dengan konstitusi RIS adalah :
1.     Undang-undang Dasar ini diberi secara resmi dengan istilah ”konstitusi Indonesia Serikat” seperti terlihat dalam Lembaran Negara tahun 1950, no.3.
2.     Konstitusi RIS sifatnya adalah sementara. Sifat sementara konstitusi RIS dapat dilihat dari ketentuan Pasal 186 yang menyatakan bahwa :
konstituante bersama-sama dengan pemerintahan selekas-lekasnya menetapkan konstitusi republik indonesia serikat.
3.     Bentuk Negara Federal. Pernyataan bentuk federal ini tercantum dalam mukadimah konstitusi RIS alinea III yang mengemukakan : ”Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam negara yang berbentuk Republik Federasi,”...., dan dalam Pasal 1 ayat 1 dinyatakan : Republik Indonesi Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk  federasi.
4.     Sistem pemerintahan negaranya menganut sistem kabinet perlementer.[10]   

Hukum konstitusi
            Setelah mempelajari tentang konstitusi dapat kita simpulkan bahwa suatu konstitusi yang mudah mengikuti perkembangan zaman, biasanya karena konstitusi itu hanya memuat hal-hal yang pokok saja. Untuk penjabaran hal-hal yang pokok akan diserahkan lebih lanjut pengaturannya pada peraruran perundang-undangan yang lebih mudah dibuat dan perubahannya, yaitu peraturan pelaksanaan yang lebih rendah tingkatannya, seperti undang-undang, peraturan pemerintah dan sebagainya. Karena konstitusi itu hanya memuat hal-hal yang pokok, maka pada umumya hanya bersifat singkat.





DAFTAR PUSTAKA

Thaib, Dahlan, dkk. Teori Hukum dan Konstitusi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo  Persada) 1999.

Daman, Rozikin, Hukum Tata Negara (Suatu Pengantar) (Jakarta : PT. Raja Grafindo  Persada) 1993.

Mahfud, Moh, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, (Jakarta : PT Asdi Mahasatya) 2000.

Lubis Solly, Hukum Tata Negara (Bandung : CV. Mandar Maju) 2008.







[1] Dahlan Thaib, dkk, Teori Hukum dan Konstitusi (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada) 1999, hlm 6-7.
[2] Rozikin Daman, Hukum Tata Negara (suatu pengantar), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada) 1993, hlm 88-89.
[3] Ibid hlm 103.
[4] Dahlan Thaib, dkk, Teori Hukum dan Konstitusi (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada) 1999, hlm 41.
[5] Ibid
[6] Mohammad MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, (Jakarta : PT Asdi Mahastya) 2000, hlm 144-146.
[7] Rozikin Daman, Hukum Tata Negara (suatu pengantar) (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada) 1993, hlm 108-109.
[8] Solly Lubis, Hukum Tata Negara (Bandung : CV. Mandar Maju) 2008, hlm 31.
[9] Moh. Mahfud, MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia (Jakarta : PT Asdi Mahastya) 2000 hlm 140-144.
[10] Rozikin Daman, Hukum Tata Negara (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada) 1993, hlm 123-127.
Description: makalah KONSTITUSI
Reviewer: Unknown
Rating: 4.0
ItemReviewed: makalah KONSTITUSI

Tidak ada komentar:

Apakah blog ini membantu?

Networking Area