Secara bahasa, maqashid syari’ah terdiri dari dua kata yakni, maqashid dan syari’ah. Maqashid adalah bentuk jamak dari maqshid yang berarti kesengajaan atau tujuan, syari’ah berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan.[1] Menurut asy-Syatibi, maqashid syari’ah merupakan tujuan syari’ah yang lebih memperhatikan kepentingan umum.[2]
Sebagaimana yang ada di dalam kamus dan penjelasannya bahwa syariat adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya tentang urusan agama, atau, hukum yang ditetapkan dan diperintahkan oleh Allah baik berupa ibadah (shaum, shalat, haji, zakat, dan seluruh amal kebaikan) atau muamalah yang menggerakkan kehidupan manusia (jual, beli, nikah, dan lain-lain). Allah SWT berfirman :
الامر من ىعه شر على جعلنا ثم
“kemudian kami jadikan kamu berada di atas sebuah syariat, peraturan dari urusan agama itu” (QS. al- Jatsiyah :18)[3]
Islam memiliki kitab suci al-Qur’an. Sebagai sumber utama, al-Qur’an mengandung berbagai ajaran. Dikalangan ulama ada yang membagi kandungan al-Qur’an kepada tiga kelompok besar yaitu, aqidah, khuluqiyyah, dan amaliyah. Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan. Khuluqiyyah berkaitan dengan etika dan akhlak. Amaliyah berkaitan dengan aspek-aspek hukum yang keluar dari Aqwal (ungkapan-ungkapan), dan af’al (perbuatan-perbuatan manusia).
Sebelum kita melangkah pada pengertian Maqashid asy Syari’ah, terlebih dahulu kita jelaskan pengertian syari’ah secara terpisah. Dalam literatur hukum islam dapat ditemukan pendapat-pendapat ulama tentang syari’ah ini.
Dalam periode-periode awal, syari’ah merupakan al-nusus al-Muqaddas dari al-Qur’an dan sunnah yang mutawatir yang sama sekali belum dicampuri pemikiran manusia. Dalam wujud seperti syari’ah disebut al – tariwah al mustaqimah. Muatan syari’ah dalam arti ini mencangkup aqidah amaliyah, dan khuluqiyyah.[4]
Menurut istilah, Maqashid Syari’ah adalah kandungan nilai yang menjadi tujuan persyariatan hukum. Jadi, Maqashid Syari’ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum.
B. Mempertimbangkan antara Maqashid Syariah dan Detail-Detail Nash
Yang menjadikan keharusan di sini adalah mempertimbangkan antara dua hal yang sama-sama pentingnya, yaitu memelihara maqashid “tujuan” syariah yang menyeluruh (kulli) dan memelihara nushush yang parsial (juz’i).[5]
Kesimpulannya adalah bahwa tujuan syariat itu untuk mencapai kebaikan, maslahat bagi manusia, dan menghindari bahaya dan kerusakan mereka. Inilah tang menjadi pusat kajian Imam asy-Syatibi dalam kitab muwafaqat yang menjadikan ilmu dan pemahaman merupakan sebab ijtihat bukan hanya sekadar syarat. Ini pula yang kita terangkan yang dilakukan oleh para sahabat terutama Khulafaur-Rasyidin, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan lainnya. Mereka yidak mengesampingkan tujuan dalam fiqih dan fatwa mereka.[6]
C. Kategori Hukum (Maqashid asy Syari’ah)
Imam asy-Syathibi berpandangan bahwa tujuan utama dari maqashid asy syari’ah adalah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga kategori hukum yaitu antara lain :
1. Daruriyyat
Secara bahasa berarti kebutuhan yang mendesak atau darurat. Dalam kategori ini ada lima hal yang perlu diperhatikan, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal pikiran, memelihara kehormatan dan keturunanan, serta memelihara harta benda.
Dalam kebutuhan Daruriyyat, apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka akan mengancam keselamatan umat manusia di dunia maupun di akhirat.[7]
2. Hajiyyat
Secara bahasa berarti kebutuhan-kebutuhan sekunder. Apabila kebutuhan ini tidak terwujud tidak sampai mengancam keselamatan, namun akan mengalami kesulitan.Untuk menghilangkan kesulitan tersebut, dalam Islam terdapat hukum rukhsa (keringanan) yaitu hukum yang dibutuhkan untuk meringankan beban, sehingga hukum dapat dilaksanakan tanpa rasa tertekan dan terkekang.[8]
3. Tahsiniyyat
Secara bahasa berarti hal-hal penyempurna. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam dan tidak pula menimbulkan kesulitan.[9]
D. Unsur-Unsur yang Membentuk Maqashid Asy Syari’ah
Secara umum, tujuan-tujuan hukum dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yang luas.[10]
Dalam sub kategori yang pertama, Syatibi membahas maksud Tuhan yang sebenarnya dalam menetapkan hukum, dalam hal ini untuk melindungi kemaslahatan manusia (baik yang berkenaan dengan duniawi maupun agama). Sepanjang yang diakui oleh prinsip-prinsip daruriyyat, hajiyyat, tahsiniyyat. Dalam sub kategori yang kedua, Syatibi membicarakan tentang maksud Tuhan membuat syariat. Dengan demikian syariat mestilah dapat dipahami oleh orang awam dan tidak boleh dimengerti oleh kalangan tertentu. Jadi, tujuannya adalah agar orang-orang yang beriman dapat mengenali hukum Allah, karena jika mereka tidak mengerti bahasa yang digunakan oleh hukum itu, maka berarti mengabaikan hukum itu sendiri. Sub kategori yang ketiga cenderung mudah dipahami, dan pada sebagian besar dari tulisan bagian ini mengatakan bahwa dalam menurunkan hukumnya menghendaki agar umat Islam mematuhi peraturannya secara menyeluruh.
Begitulah semestinya pelanggaran atas hukum secara sengaja dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan jenis pelanggarannya tersebut. Dapat pula dinyatakan bahwa ada perbuatan yang praktiknya melanggar hukum padahal niatnya tidak demikian. Tampak bahwa kehendak manusia dalam wacana Syatibi sejauh ini dijelaskan dengan menjadikan sufi sebagai contoh. Namun disini dia melajutkan diskusi tentang siasat hukum (biyal) dalam hubungan yang erat, ataupun tidak, antara kehendak Tuhan dan keinginan manusia. Dan dijelaskan pula bahwa sasarannya kali ini berpindah dari kaum sufi kepada kelompok ahli fiqih yang dianggapnya telah bertindak berlebih-lebihan dalam menyepelekan hukum, barangkali dalam menyampaikan kritikannya pada para ahli fiqih tersebut. Ia berpendapat bahwa tujuan utama biyal adalah untuk mencegah berlakunya suatu hukum atau menggantinya dengan ketentuan yang lain agar tidak terjadi akibat yang tidak diinginkan oleh hukum.[11]
E. Norma-Norma Hukum Maqashid asy Syari’ah
Pembahasannya pada perbuatan – perbuatan yang berkategori mubah, yang baik dilakukan ataupun tidak sama – sama diperbolehkan, dan tidak mengakibatkan pahala maupun dosa. Syatibi mengembangkan sebuah penjelasan dan taksonomi baru mengenai mubah. Menurutnya perbuatan – perbuatan yang termasuk mubah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yang masing – masing terbagi lagi menjadi dua sub – kategori.
Pertama adalah perbuatan yang dalam skala sempit berstatus mubah, namun ketika perbuatan itu menjadi sesuatu yang dibutuhkan dalam skala yang lebih luas, maka akan mejadi mandub atau wajib. Kedua adalah perbuatan yang dalam skala sempit berstatus mubah, namun ketika perbuatan itu merugikan dalam skala yang lebih luas, maka perbuatan tersebut menjadi makruh atau haram.Dari dua pembagian ini kemudian memunculkan empat sub kategori, yaitu :
1. Perbuatan yang pada dasarnya mubah namun secara keseluruhan bisa menjadi mandub.
2. Perbuatan yang pada dasarnya mubah namun dala skala luas dapat menjadi wajib.
3. Perbuatan yang pada dasarnya mubah tetapi dalam skala besar dapat menjadi makruh.
4. Perbuatan yang pada dasarnya mubah namun dalam kerangka yang lebih luas dapat menjadi haram.
Jadi, garis yang membedakan antara perbuatan mubah yang diperbolehkan atau tidak adalah karena kadar dan frekuensi perbuatan tersebut. Perbuatan – perbuatan yang mandub dan makruh dapat dianalisa dengan pembagian yang serupa. Sebuah perbuatan yang berstatus mandub, tetapi dalam kerangka yang luas yaitu universal dan dilakukan secara rutin akan menjadi wajib. Demikian pula halnya dengan perbuatan yang dipandang makruh apabila dilakukan sekadarnya saja, akan menjadi haram ketika terlalu sering dilakukannya.
Syatibi kemudian menambahkan norma yang kemudian dianggap bagian yang tidak terpisahkan dari hukum. Norma ini juga memperkuat dua norma lain yaitu mandub dan makruh dan memperkenankan penyimpangan dan toleransi dalam hukum. Syatibi kemudian menybut norma ini sebagai ‘afw, sebuah knsep yang mewakili sesuatu yang belum atau tidak memiliki status hukum atau yang telah memiliki status hukum, tetapi dalam hal telah memiliki status hukum, orang yang mengerjakannya tidak tahu atau lupa akan status hukum perbuatan tersebut. Sebuah sejarah yang bermula dari hadis nabi ‘afw : “orang yang paling bersalah adalah orng yang menanyakan tentang sesuatu yang sebelumnya tidak dilarang, kemudian menjadi dilarang setalah dinyatakan status hukumnya”.[12] Maksud dari hadis tersebut adalah bahwa selama sebuah perbuatan tidak memiliki status hukum yang jelas, maka perbuatan itu termasuk yang tidak berstatus hukum. Jika suatu masalah belum memiliki status hukum, maka seorang muslim selama ia tidak meminta pandangan seorang ahli hukum, boleh melakukannya tanpa memperoleh pahala atau dosa.
Dalam masalah – masalah dimana norma hukum telah ditetapkan, ‘afw berarti menjadikan dosa, apapun masalahnya selama ada alasan yang kuat untuk itu. Melakukan sebuah perbuatan yang dilarang karena lupa tidak mengakibatkan dosa.
Yang termasuk juga dalam kategori ini adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan ketidakmampuan seseorang untuk melaksanakannya. Dalam hal ini ketentuan yang berlaku yang dikenal dengan ‘azima dan rukhsa. Diperbolehkannya menggunakan rukhsa karena adanya kebutuhan yang mendesak, namun dalam menghilangkan kesulitan bukan hanya berdasarkan kebutuhan yang mendesak tetapi juga karena ketidakmampuan pada kondisi – kondisi yang tidak memungkinkan.
F. Peranan Maqashid Syari’ah dalam Pengembangan hukum
Pengetahuan tentang Maqashid Syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd al-Wahhab Khallaf, adalah hal sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian kebahasaan.[13]
Metode istinbat, seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas Maqashid Syari’ah. Qiyas, misalnya, baru bisa dilaksanakan bilamana dapat ditemukan Maqashid Syari’ah-nya yang merupakan alasan logis (‘illat) dari suatu hukum. Sebagai contoh, tentang kasus diharamkannya minuman khamar (QS. al-Maidah: 90). Dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa Maqashid Syari’ah dari diharamkannya minuman khamar ialah sifat memabukkannya yang merusak akal pikiran. Dengan demikian, yang menjadi alasan logis (‘iilat) dari keharaman khamar adalah sifat memabukkannya, sedangkan khamar itu sendiri hanyalah sebagai salah satu contoh dari yang memabukkan.
Dari sini dapat dikembangkan dengan metode analogi (qiyas) bahwa setiap yang sifatnya memabukkan adalah juga haram. Dengan demikian, ‘iilat hukum dalam suatu ayat atau hadis bila diketahui, maka terhadapnya dapat dilakukan qiyas (analogi). Artinya, qiyas hanya bisa dilakukan bilamana ada ayat atau hadis yang secara khusus dapat dijadikan tempat mengqiyaskannya yang dikenal dengan al mawis ‘alaih (tempat meng- qiyas-kan).
Jika tidak ada ayat atau hadis secara khusus yang akan dijadikan al-maqis ‘alaih, tetapi termasuk dalam tujuan syariat secara umum seperti untuk memelihara sekurangnya salah satu dari kebutuhan-kebutuhan di atas tadi, dalam hal ini dilakukan metode maslahah mursalah. Dalam kajian Ushul Fiqh, apa yang dianggap maslahat bila sejalan atau tidak dengan petunjuk-petunjuk umum syariat, dapat diakui sebagai landasan hukum yang dikenal maslahat mursalah.
Jika yang akan diketahui hukumnya itu telah ditetapkan hukumnya dalam nash atau melalui qiyas, kemudian karena dalam satu kondisi bila ketentuan itu diterapkan akan berbenturan dengan ketentuan atau kepentingan lain yang lebih umum dan lebih layak menurut syara’ untuk dipertahankan, maka ketentuan itu dapat ditinggalkan, khusus dalam kondisi tersebut. Ijtihad seperti ini dikenal dengan istihsan. Metode penetapan hukum melalui maqashid syari’ah dalam praktik – praktik istinbat tersebut, yaitu praktik qiyas, istihsan, dan istislah (malsahah mursalah), dan lainnya seperti istishab, sad al-zari’ah. dan ‘urf (adat kebiasaan), di samping dissebut sebagai metode penetapan hukum melalui maqashid syari’ah, juga oleh sebagian besar ulama ushul fiqh disebut sebagai dalil – dalil pendukung, seperti telah diuraikan secara singkat pada pembahasan dalil – dalil hukum di atas. Di bawah ini akan dijelaskan tentang metode – metode yang berdasarkan atas maqasyid syari’ah.
1. Istihsan
Secara harfiyah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan. Menurut al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa juz I : 137, “istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya”.[14]
Fuqaha Hanafiyah membagi istihsan menjadi dua macam yaitu :
a. Pentarjihan qiyas khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jali (nyata).
Seorang pewakaf apabila mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka masuk pula secara otomatis hak perairan (irigasi), hak air minum, hak lewat ke dalam wakaf tanpa harus menyebutkannya berdasarkan istihsan.
b. Pengecualian kasuistis (juz’iyyah) dari suatu hukum kulli (umum) dengan adanya suatu dalil.
Apabila penjual dan pembeli bersengketa mengenai jumlah harga sebelum serah terima yang dijual, kemudian penjual mengaku bahwa harganya adalah seratus juneh, dan pembeli mengaku harganya sembilan puluh juneh, maka mereka berdua bersumpah berdasarkan istihsan.[15]
2. Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dalil, tetapi tidak ada juga pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada ‘illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadharatan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan maslahah mursalah. Tujuan utama maslahah mursalah adalah kemaslahatan, yakni memelihara dari kemadharatan dan menjaga kemanfaatannya.[16]
Mukhammad Aqil Muzakki |
[1] Totok, Kamus Ushul Fiqih (Jakarta: Dana Bakti Wakaf, 2005), hlm.97.
[2] Sahal Mahfudh, Nuansa Fikih Sosial (Yogyakarta: LKIS, 1994), hlm.22.
[3] Yusuf Al – Qaraddhawi, Fiqih Maqashid Syariah (Jakarta: Pustaka Al Kaustar, 2007), hlm.12.
[4] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Syatibi ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996 ), hlm.60.
[5] Yusuf al-Qadharawi, Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern (Kairo: Makabah Wabah, 1999), hlm.79.
[6] Ibid.,hlm.80.
[8] Yusuf al-Qadharawi.,hlm.79.
[9] Ibid.,hlm.80.
[10] Wael b Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam (Jakarta: Grafindo, 2000), hlm.267.
[11] Ibid.,hlm.268.
[12] Ibid.,hlm.260.
[13] Satria Effendi, M. Zein. Ushul fiqh (Jakarta : Gramedia, 2004),hlm.237.
[14] Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm.111.
[15] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), hlm.110.
[16] Juhaya S.op.cit,hlm.117.
Description: MAQASHID SYARI'AH sebuah MAKALAH
Reviewer: Unknown
Rating: 4.0
ItemReviewed: MAQASHID SYARI'AH sebuah MAKALAH
Reviewer: Unknown
Rating: 4.0
ItemReviewed: MAQASHID SYARI'AH sebuah MAKALAH
Tidak ada komentar: