Look up

Kamis, 16 Desember 2010

Unknown 17.31.00 , , ,
C. lahirnya PMII dan Pengembangan Sayap Pergerakan
Setelah sahabat Ismail Makky dan sahabat Muhamad Hartono, BA dapat meyakinkan pucuk pimpinan IPNU didalam forum konferensi Besar IPNU yang diselenggarakan di Kaliurang Yogyakarta, pada tanggal 14 – 17 Maret 1960. bahwasanya sangat perlu dibentuk satu organisasi mahasiswa NU yang betul-betul lepas dari IPNU baik secara structural organisatoris maupun secara fungsional organisatoris. Untuk mewujudkan keinginan itu maka konbes juga memutuskan perlunya diadakan satu musyawarah mahasiswa NU dan untuk itu maka dibentuk satu panitia sponsor pendiri organisasi mahasiswa NU yang terdiri dari 13 orang dan diberi tugas untuk melaksanakan musyawarah mahasiswa NU seIndonesia bertempat di Surabaya dengan limit waktu satu bulan setelah keputusan itu. Adapun ketiga belas sponsor pendiri organisasi mahasiswa NU itu adalah :
1. Sahabat Chalid Mawardi (Drs. H, Jakarta)
2. Said Budairy (Jakarta)
3. Sahabat M. Sobich Ubaid (Jakarta)
4. Sahabat M. Makmun Syukri, BA (Drs. H, Bandung)
5. Hilman Badrudinsyah, Sahabat (Bandung)
6. Sahabat H. Ismail Makky (Drs. H. Yogyakarta)
7. Sahabat Munsif Nahrowi (Drs. H. Yogyakarta)
8. Nuril Huda Suaidy HA (Drs. H. Surakarta)
9. Sahabat Laily Mansur (MA, Surakarta)
10. Sahabat Abdul Wahab Jaelani (Drs. H. Semarang)
11. Hisbullah Huda, Sahabat (H. Surabaya)
12. Sahabat Chalid marbuko (Drs. Malang)
13. Ahmad H. Asain, sahabat (Drs. H. Makasar / Ujungpandang ).[1]
Organisasi ini karena memang mula pertama kalinya dilahirkan sebagai organisasi mahasiswa partai NU, maka tiga dari tiga belas sponsor berdirinya organisasinya mahasiswa ini terlebih dahulu menghadapi bapak KH. DR. Idcham Chalid, beliau selaku ketua umum PB. Partai Nahdatul Ulama, hal ini seperti yang dituturkan oleh sahabat Chatibul Umam (kini bapak Drs. H. Chatibul Umam, dosen IAIN Jakarta dan Wakil Rector PTIQ Jakarta):

“Sebelum memasuki musyawarah mahasiswa NU, terlebih dahulu meminta petunjuk dan nasehat sebagai pegangan pokok dalam musyawarah kepada Yang Mulia (sebutan Yang Mulia pada waktu zaman orde lama, terasa masih lazim, pen) K.H. Dr. Idcham Chalid selaku Ketua Umum Partai Nahdatul Ulama. Pada tanggal 19 Maret sponsor berangkat ke Jakarta dan pada tanggal 24 Maret 1960 sponsor yang terdiri dari Hisbullah Huda (kini anggota DPR RI), M Said Budairy (pernah menjadi anggota DPR dan kini pengusaha di Jakarta) dan Makmun Syukri BA (putra almarhum KH. Syukri Ghazali – Ketua Umum MUI dan kini bapak Drs. H. Makmun Syukri menjadi seorang dosen IAIN Sunan Gunung Jati Bandung) dengan ramah tamah telah diterima oleh Yang Mulia bapak Idcham Chalid.
Dalam pertemuan itu selain memberikan petunjuk-petunjuk yang merupakan landasan pokok untuk musyawarah beliau juga menekankan hendaknya organisasi yang akan diwujudkan itu benar benar merupakan kader partai NU, dan menjadi mahasiswa yang berprinsip ilmu untuk diamalkan untuk / bagi kepentingan rakyat bukan ilmu untuk ilmu dan lebih penting lagi yaitu menjadi manusia yang cukup cakap serta bertaqwa kepada Allah (pesan pesan bapak KH. Dr. Idham Chalid ini nampak nantinya tersublimir dalam tujuan PMII yakni terbentuknya pribadi muslim yang berbudi luhur, bertaqwa kepada Allah, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam pengamalan ilmu pengetahuannya, pen) setelah itu beliau menyatakan merestui musyawarah mahasiswa Nahdatul Ulama yang akan diadakan di Surabaya itu.[2]
Kalau kita amati dari uraian pesan-pesan petunjuk Bapak Dr. KH. Idcham Chalid ini maka benar-benar terasa sekali suasana kepartean NU pada organisasi mahasiswa yang lainnya juga demikian? yang demikian ini selayaknya kita dapat maklumi suasana suwaktu kepartean NU pada organisasi mahasiswa yang akan didirikan ini, apakah pada organisasi mahasiswa yang lainnya juga demikian? Yang demikian selayaknya kita dapat kita maklumi suasana waktu itu betul-betul partai minder; meningkatkan jumlah ormas mahasiswa ini disertai pula oleh peningkatan peranan peranan mereka secara kuwalitas dan terbukanya kesempatan untuk mobilitas social dibidang politik.[3] Hal ini juga seperti apa yang dikatakan oleh. Rocamura yang pendapatannya dikutip oleh Dr. Burhan D. Mogenda suatu pendapat tentang keterkaitan antara organisasi mahasiswa dan partai politik. Rocamura memperlihatkan bagaimana pemimpin organisasi massa (inclusive juga organisasi mahasiswa, PNI) berefeliasi pada tahun-tahun terakhir jaman demokrasi terpimpin berhasil masuk pada DPP PNI. Proses regenerasi ini berlangsung secara damai dan menurut prinsip-prinsip organisasi. Gejala petani juga terlihat pada partai lainnya, misalnya NU.[4]
Keterlibatan organisasi mahsiswa ekstra universitas (Nasional) dengan partai politik ini juga diakui oleh para Tokoh mahasiswa itu sendiri, seperti yang dinyatakan oleh Drs. Suryadi Presedium Pusat GMNI; Dia sendiri sudah menjadi anggota DPR sejak tahun 1966. Tapi bukan melalui KAMI ( Kesatuan aksi mahasiswa Indonesia, satu gabung dari organisasi extra universitas dan Dema / Sema yang lahir pada tahun 1966 sebagai upaya untuk menggulingkan pemerintah presiden Sukarno / Rezim Orla, pen) melalui PNI dan katanya itu memang proses wajar.[5]
Kalau Drs. Surayadi dari PP GMNI sangat aktif dan akhirnya masuk menjadi anggota DPR melalui PNI maka PMII sangat juga aktif dan akhirnya masuk menjadi anggota DPR melalui PNI maka PMII juga sangat aktif dan akhirnya masuk menjadi anggota DPR melalui PNI maka PMII juga sangat aktif dibidang politik seperti apa yang dikatakan oleh Abdul Rohim Hasan didepan forum kongres ke IV PMII pada tahun 1970 di Makasar: tetapi Mengapa PMII mesti berpolitik? Bukankah membahayakan tugas utamanya belajar dan belajar? Bukankan persoalan politik nanti setelah terjun di masyarakat?. Anggapan itu anggapan klasik. Uang kuliah adalah preparasi untuk pekerjaan politik.[6] Selanjutnya sahabat Abdul Rahim Hasan (kini bapak Drs, H. Abdul Rahim Hasan adalah sekretaris pribadi bapak KH. Dr. Idcham Chalid) lebih lanjut menjelaskan mengapa mahasiswa (baca PMII, Pen) meski perpolitik baik secara politik praktis maupun politik konseptional; belajar dan berpolitik bukanlah suatu hal yang confuse, tetapi justru prinsip berpolitik itu adalah berbarengan dengan adanya PMII itu sendiri. Hal ini telah ditegaskan dalam Dokumen histories (khasanah konsepsional PMII, pen) Gelora Megamendung (pokok-pokok pikiran yang dihasilkan dalam Training Course II PMII seluruh Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 17 sampai dengan 26 April 1965 di Megamendung Bogor) menolak dengan keras prinsip ilmu untuk ilmu, PMII secara pasti menetapkan bahwa ilmu mesti diamalkan. Diamalkan dalam artian untuk kepentingan agama, nusa dan bangsa.
Bagi PMII tidak lebih dari pada alat (maksudnya organisasi adalah tidak lebih dari pada alat untuk perjuangan, pen) sedangkan berpolitik tidak lain dari pada menerapkan ilmu pengetahuan dalam perjuangan mengabdikan diri kepada agama, nusa dan bangsa, namun belajar dan berpolitik harus seimbang. Tegasnya dalam menjalankan tugas “berpolitik” tidak mengenyampingkan tugas belajar, mengenyampingkan tugas-tugas kemahasiswaan terjun kearena politik melulu karena hal yang demikian adalah merupakan perbuatan yang nekad dan fatal. Tugas setiap warga PMII adalah memadukan ketinggian ilmu dengan kesadaran berpolitik. Apa itu berpolitik saat kita tidak lain dan tidak bukan adalah sepenuhnya berdiri dibawah naungan panji-panji partai dan terjun ke dalam kegiatan partai dalam bentuk apapun.[7]
Begitulah awal mula berdirinya PMII ini memang diperuntukkan bagi kekokohan dan bamper bagi partai politik Nahdatul Ulama, PMII betul-betul sebagai anak dan alat NU sehingga akan nampak dengan jelas gerak aktivitas PMII antara tahun 1960-1972 banyak diwarnai dengan pernyataan-pernyataan politik, akan hal ini sahabat H. Mahbub Junaidi lebih lanjut menerangkan; mengapa aktivitas PMII antara tahun 1960-1972 (sebelum PMII menyatakan dirinya Independent, pen) kebanyakan adalah aktivitas politik, ada beberapa hal yang melatarbelakanginya :
Pertama : memang PMII dilahirkan untuk pertama kalinya sebagai kader muda Partai NU, sehingga gerakan aktivitasnya mau tidak mau harus selalu menunjang gerak langkah dan kebesaran Nahdatul Ulama sebagai organisasi partai politik.
Kedua: suasana kehidupan berbangsa dan bernegara pada waktu itu memang sedang berhembus iklim yang mengutamakan pembangunan politik, sehingga politik sebagai panglima (istilahnya waktu itu, pen) betul betul menjadi policy pemerintah dan PMII sebagai bagian dari bangsa ini mau tidak mau harus berperan aktiv dalam kontelasi politik waktu itu.[8]
Dan yang lebih penting untuk diketahui adalah mengapa ketika PMII dilahirkan langsung menjadi anak dan alat NU serta langsung pula terlibat sebagai pemain dalam percaturan politik praktis maupun konsepsional di republic ini, akan hal ini H. Mahbub Junaidi menerangkan secara gamblang posisi PMII tersebut, ketika beliau memberikan sambutan dalam Panca Warsa hari lahir PMII (Lima Tahun Ulang Tahun PMII, pen) : “Mereka bilang mahasiswa yang paling baik adalah mahasiswa yang non partai, bahkan non politis, yang berdiri di atsa semua kepala, tak kesini dan tak kesitu, seperti seorang mandor yang tak berpihak. Sebaliknya kita bilang, justru mahasiswa itulah yang harus lebih berpolitik dari siapapun juga, justru mahasiswa itulah yang harus lebih jelas dimana tempat tegaknya, justru mahasiswa itulah yang harus berpartisipasi secara konkret dengan kegiatan partai politik.[9] Dari petikan-petikan pendapat dan pokok-pokok pikiran para tokoh PMII pada seputar tahun 1960-1970, maka kita dapat memahami akan mission kelahiran PMII dan nilai lahirnya, pertumbuhannya sampai gerak langkahnya ditengah-tengah dunia kemahasiswaan dan kepemudaan pada waktu itu.
Seperti kita ketahui kelahiran PMII disponsori oleh 13 orang tokoh-tokoh mahasiswa NU mereka berasal dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Makasar (Ujung Pandang sekarang, pen). Maka kedelapan kota itulah merupakan cikal bakal adanya cabang-cabang PMII. Adapun yang menjadi pucuk pimpinan PMII (sekarang istilahnya PB. PMII, pen) adalah sebagai berikut :
Ketua Umum : H. Mahbub Junaidi
Ketua Satu : A. Chalid mawardi (Drs. H)
Ketua Dua : Sutanto Martoprasono (Drs. H)
Sekretaris Umum : H.M. Said Budairy
Sekretaris Satu : Munsif Nahrowi (Drs. H)
Sekretaris Dua : A. Aly Ubaid
Keuangan Satu : M. Sobich Ubaid
Keuangan Dua : Ma’sum
Departemen departemen :
Pendidikan dan Pengajaran : MS. Hartono, BA
Penerangan / Publikasi : Aziz marzuki
Kesejahteraan Mahasiswa : Fahrurrozi AH (Drs. H)
Kesenian Kebudayaan : H. M. Said Budairy
Keputrian : Mahmudah Nahrowi
Luar Negeri : Nukman
Pembantu-pembantu umum : Ismail Makky, BA (Drs. H)
Makmun Syukri, BA (Drs. H)
Hisbullah Huda, Hs
H. Mustahal Ahmad, BA (Drs)[10]
Susunan kepengurusan pucuk pimpinan PMII yang seperti di atas adalah merupakan kelanjutan dari hasil musyawarah mahasiswa NU di kota Surabaya pada tanggal 14 – 16 April 1960, yang pada waktu itu hanya memutuskan
1. Berdirinya organisasi mahasiswa NU dan organisasi mahasiswa itu bernama pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau PMII.
2. Penyusunan Peraturan Dasar PMII yang dalam mukadimahnya jelas dinyatakan bahwasanya PMII adalah merupakan kelanjutan dari IPNU / IPPNU.
3. Karena persidangan dari musyawarah mahasiswa NU tersebut (yang dalam persidangannya mengambil tempat di gedung Madrasah Mualimin NU Wonokromo Surabaya, pen) dimulai dari tanggal 14 – 16 April 1960 dan peraturan dasar PMII mulai dinyatakan berlaku pada tanggal 21 Syawal 1379 Hijriyah atau bertepatan dengan tanggal 17 April 1960 maka mulai hari itulah PMII dinyatakan berdiri dan tanggal 17 April dinyatakan sebagai hari jadi PMII dan akan diperingati sepanjang tahun dengan istilah hari lahir pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Harlah PMII).
4. Musyawarah juga memutuskan untuk membentuk tiga orang formatur yakni H. Mahbub Junaidi sebagai ketua umum, Shb. A Chalid Mawardi sebagai ketua satu dan Shb. M. Said Budairy selaku sekretaris umum PP. PMII.[11]
Description: SEJARAH PMII episode III
Reviewer: Unknown
Rating: 4.0
ItemReviewed: SEJARAH PMII episode III

Tidak ada komentar:

Apakah blog ini membantu?

Networking Area