Look up

Selasa, 17 Mei 2011

Unknown 18.58.00 , ,
Arika Nisa Utami
(Mahasiswa Syariah Ekonomi Islam)

Istilah otonomi daerah dan desentralisasi dalam konteks bahasan sistem penyelenggaraan pemerintahan sering digunakan secara campur aduk (interchangeable). Kedua istilah tersebut secara akademikbisa dibedakan, namun secara praktis dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dipisahkan. Karena itu tidak mungkin masalah ekonomi daerah dibahas tanpa mempersandingkannya dengan konsep desentralisasi. Bahkan menurut banyak kalangan, otonomi daerah adalah desentralisasi itu sendiri.

Tak heran misalnya dalam buku-buku referensi, pembahasn otonomi daaerah diulas dengan memekai istilah desentralisasi. Kedua istilah tersebut bagaikan dua mata koin yang saling menyatu namun dapat dibedakan. Dimina desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara negara, sedangkan otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut. Konsep desentralisasi sering dibahas dalam konteks pembahasan mengenai system penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Pada masa sekarang, hamper setiap negara atau bangsa menganut dsentralisasi sebagai suatu asas dalam system penyelenggaraan pemerintahan negara.

PEMBAHASAN

1. Pengertian
Berbagai definisi tentang desentralisasi dan otonomi daerah telah banyak dikemukakan oleh para pakar sebagai bahan perbandingan dan bahasn dalam upaya menemukan pengertian yang mendasar tentang pelaksanaan otonomi daerah sebagai manifestasi desentralisasi. Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai “mandiri”. Sedangkan makna yang lebih luas diartikan sebagai “berdaya”. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa tekanan dari luar(external intervention).1

Otonomi daerah dapat diartiakan sebagai hak, wewenang dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.2

M.Turner dan D.Hulme berpandangan bahwa yang dimaksud dengan desentralisasi adalah transfer kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada public dari seseorang atau agen pemerintah pusat kepada beberapa individu atau agen lain yang lebih dakat kepada public yang dilayani. Landasan yang mendasari transfer ini adalah territorial dan fungsional. Dengan teritorial yang dimaksud adalah menempatkan kewenangan kepada level pemerintahan yang lebih rendah dalam wilayah hirarkis yang secara geografis lebih dekat kepada penyedia layanan dan yang dilayani. 

Dengan fungsional artinya transfer kewenangan kapada agen yang secara fungsional terspesialisasi. Transfer kewenangan secara fungsional ini memiliki 3 tipe:3 pertama, apabila pendelegasian kewenangan itu didalam struktur politik formal misalnya, dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, kedua, jika transfer itu terjadi didalam struktur administrasi publik, misalnya dari kantor pusat sebuah kementrian kepada kantor kemenntrian yang ada di daerah, ketiga, jika transfer tersebut dari institusi negara kepada agen non negara, misalnya penjualan asset pelayanan publik seperti telepon atau penerbangan kepada sebuah perusahaan.

2. Maksud dan Substansi Otonomi Daerah
Apa sebenarnya makna otonomi daerah? Secara formal sebagaimana yang disebutkan dalam UU No. 22 tahun 1999, bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarskat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Pengertian ini mengandung beberapa segi dasar:4

Pertama,bahwa otonomi daerah bukan skema kedaulatan daerah, dalam konteks negara federal. Posisi yuridis otonomi, bisa dipahami dalam kerangka UUD 1945 pasal 18, yang menyebutkan: pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratandalam system pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Pada bagian penjelasan disebutkan:
a. Oleh karena negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tidak akan mempunyai darah didalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Didaerah yang bersifat otonom(streek dan rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di darerah-daerah yang yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena didaerah manapun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan
b. Dalam teritori negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelf-besturende landschappen dan volksgemeen-schappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenal daerah-daerah itu akan mengingat hak-hak asal-usul daerah tersebut.

Apa yang dilihat dari skema tersebut, bahwa konsep negara kesatuan RI, meski bersifat “satu”, tetapi tetap mengakui lokalitas, sepanjang masih berada dalam koridor “satu”. Barangkali ini pula makna terdalam dari Bhineka Tunggal Ika. Hendak dikatakan bahwa otonomi bukan kemerdekaan daerah.
Kedua, kebijakan otonomi lebih merupakan perubahan dalam tata susunan kekuasaan, termasuk didalamnya perubahan dalam prinsip kerja pemerintahan, dimana daerah mendapatkan kewenangan untuk mengatur urusan daerahnya, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Mengapa kewenangan tersebut diberikan?. Dari sudut pandang yang wajar, sebagaimana dinyatakan dalam kebijakan otonomi daerah, bahw skema baru tersebut dimaksudkan untuk mendorong adanya pelayanan yang lebih baik.

Apa yang dimaksud dengan pelayanan yang lebih baik?. Kita bisa mencatat dua kemungkinan: (1) kualitas pelayanan dan (2) ketetapan atau kesesuaian antara pelayanan dengan kebutuhan (permintaan). Hal yang kedua inilah yang sangat penting. Masih dari sini pula kita hendak adanya suatu kesadaran baru, bahwa apa yang menjadi kebutuhan daerah tidak bisa secara mutlak ditentukan oleh pusat. Anggapan bahwa daerah tidak mampu untuk merumuskan apa yang menjadi kebutuhannya sendiri, dan anggapan bahwa pusat pasti bisa memberi hal yang terbaik bagi daerah, sudah selayaknya ditinggalkan. Otonomi dengan demikian memberi makna bahwa pemerintahan pusat telah menyadari kekeliruan dalam skema lama. Artinya, adanya skema otonomi bisa dipandang sebagai pendekatan baru dalam menjalankan pembangunan. Pendekatan baru ini, tentu saja membutuhkan bukti nyata dalam praktek, dimana kekuasaan pusat tidak lagi menelikung proses otonomi dengan pendekatan intregasi nasional,sebaliknya memberikan kepercayaan penuh kepada daerah untuk menjalankan misi mensejahterakan masyarakat.

Ketiga, proses politik yang dijalankan orde baru, yang tidak memberi harga pada partisipasi rakyat, telah dengan seksama menunjukkan bagaimana akibat dari elitism politik tersebut. Akibat yang dimaksud tentu bukan sesuatu yang harus ditanggung oleh golongan elite, melainkan oleh rakyat. Elite politik dapat dikatakan bisa memperoleh manfaat, berupa keenakan-keenakan, dari proses politik yang ada. Tanpa keterlibatan langsung rakyat, menjadikan kebijakan yang dikeluarkan penguasa sangat jauh dari aspirasi, kepentingan, dan kebutuhan rakyat. Selain itu, hilangnya partisipasi, mengakibatkan memudarnya control rakyat, dan akibatnya banyak terjadi pengingkaran amanat rakyat, suatu proses penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Oleh sebab itu, konsep otonomi yang bila hanya bermakna pembagian kekuasaan dikalangan elite, tentu saja tidak akan mengubah skema dasar yang eksploitatif dan represif. Disinilah makna terpenting dariperlunya prakarsa rakyat dalam otonomi daerah.

Dari ketiga siege tersebut, hendak dikatakan bahwa otonomi daerah pada dasarnya adalah sebuah koreksi terhadap struktur kekuasaan, yang semula lebihberakar ke atas,menjadi model baru yang lebih berorientasi ke bawah. Perubahan struktur ini, tentu saja membutuhkan perubahan yang lebih, termasuk perubahan kultur, bahkan hingga mentalitas para pelaku perubahan. Otonomi menjadi jalan baru, untuk memperkuat rakyat dan mendekatkan rakyat dari cita-cita perbaikan kehidupan (masyarakat yang adil dan makmur). Pada prinsipnya pemerintahan harus benar-benar bisa menjawab apa yang dibutuhkan rakyat. Oleh sebab itu pula perlu disadari bahwa suatu daerah yang berbeda, tentu membutuhkan perlakuan yang berbeda pula. Model penyeragaman, bukan saja tidak tepat, tetapi juga menjadi bentuk pengingkaran yang paling vulgar terhadap kenyataan pluralitas dan lokalitas.

3. Syarat-syarat Otonomi
Adanya kebijakan mengenai otonomi daerah, tidak dengan sendirinya mendorong berkembangnya “local good governance”. Syarat apa sebetulnya yang dibutuhkan agar kbijakan yang ada bisa bermakna dan menjadi motor bagi pembaruan yang lebih mendasar?5. Dibawah ini akan dijelaskan mengenai syarat-syarat tersebut.

Syarat Internal
Syarat internal merupakan syarat yang harus disiapkan oleh daerah dan masyarakat sendiri, antara lain:.
a. Kesiapan masyarakat, yakni tidak lain darikemauan dan kemampuan masyarakat untuk keluar dari tradisi lama yang serba sentralistik, kepada sebuah tradisi baru yang desentralistik.
b. Kesiapan perangkat daerah, yakni perangkat daerah harus mengubah pola yang semula lebih dekat dengan “atas” menjadi lebih dekat dengan “bawah”(masyarakat menumbuhkan).
c. Diperlukan adanya situasi/ suasana kondusif yang mendukung proses implementasi otonomi daerah.
d. Masyarakat perlu menumbuhkan kontrol secara efektif, dalam konteks memperkuat parlemen bisa benar-benar menjadi wahana realisasi aspirasi masyarakat.

Secara Eksternal
Apa yang dimaksud syarat eksternal?. Yakni suatu kondisi yang memungkinkan bekerjanya proses otonomi daerah. Eksternal yang dimaksud meliputi: (1)Pemerintahan pusat,dan (2) daerah-daerah yang lain.

4. Ancaman Otonomi Daerah
Apakah otonomi daerah akan selalu bermakna positif?. Apa yang bisa dipandang sebagai segi negatif atau potensi ke arah segi negatif? Pemahaman mengenai segi negatif dari otonomi dibutuhkan, agar kita bisa memberi antisipasi terhadap segala kemungkinan yang bisa terjadi. Segi negatif yang mungkin berkembang adalah:6

Pertama, peluang konflik antara daerah, sebagai wujud dari konflik sumber daya. Pemahaman yang sempit mengenai otonomi daerah telah membangun citra (image), bahwa otonomi daerah sama artinya dengan “biaya sendiri”(auto money). Pandangan menjadikan otonomi tereduksi hanya masalah PAD(pendapatan asli daerah).

Kedua, kesenjangan antar daerah. Tidak lepas dari kenyataan bahwa setiap daerah sebetulnya memiliki potensi yang berbeda-beda. Keadaan ini tentu akan mengakibatkan pertumbuhan antar daerah bisa bergerak secara tidak seimbang. Daerah yang kaya tentu akan bisa memanfaatkan otonomi sebagai momentum kebangkitan daerahnya. Sebaliknya, bagi daerah yang miskin sumber daya, bisa bermakna malapetaka, terutama bila koordinasi tidak maksimal dan distribusi kekayaan nasional tidak berjalan.

Ketiga, berkembangnya ketidakadilan lokal dan munculnya “raja-raja kecil” di daerah. Proses otonomi yang bermakna pemberian kewenangan pada(pemerintah elite) daerah, tentu saja tidak akan banyak berarti bila tidak ditindaklanjuti dengan proses politik yang membuka ruang partisipasi rakyat.

5. Pengaruh Globalisasi Terhadap Otonomi Daerah
Saat ini dunia sedang dikurung oleh kebudayaan global yang tidak dapatdihindari. Globalisasi dapat memberikan efek positif terhadap umat manusia tetapi dapat juga memberikan dampak negatif. Secara moral, globalisasi dapat merupakan bentuk eksploitasi dari negara yang kuat terhadap negara-negara yang lemah. Globalisasi juga dapat menciptakan ketidakseimbangan ekonomi dan merupakan suatu pemborosan terhadap negara dan masyarakat yang dikuasai oleh negara-negara maju yang menguasai teknologi. Dari segi sosial, globalisasi dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial karena perbedan antara yang punya dan tidak punya akan semakin lebar sehingga dapat menimbulkan ketegangann sosial yang semakin eksklusif.7

Perubahan globalisasi yang seddemikian ini harus dimiliki oleh badan eksklusif daerah dan badan legislatif daerah, selain itu perubahan global harus tergambar kedalam visi, misi, serta strategi pemerintah daerah baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

6. Pemberian Otonomi seluas-luasnya kepada Derah
Dalam ketetapan MPR, memetuskan untuk menegaskan kepada pemerintah bersama-sama dengan DPR untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya memberi otonomi seluas-luasnya kepada daerah-daerah, sesuai dengan jiwa dan isi UUD 1945, tanpa mengurangi tanggung jawab pemerintah pusat di bidang perencanaan, koordinasi, dan pengawasan terhadap daerah-daerah. Untuk melakasanakan otonomi seluas-luasnya itu semua urusan diserahkan kepada daerah, berikut semua aparatur dan keuangannya, kecuali hal-hal yang bersifat nasional yang akan diatur dan ditentukan dengan undang-undang.

Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah diatur kembali sedemikian rupa, hingga pelaksanaan otonomi seluas-luasnya dapat terselenggara secara sehat. 8 Titik berat pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia dapat dilacak dalam kerangka konstitusi NKRI. 9 Pelaksanaan otonomi daerah adalah pada daerah tingkat II (Dati II)10 Dati II adalah daerah “ujung tambak” pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.

7. Kebijakan Nasional dan Derah dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Otonomi dareah yang diharapkan dapat melimbahkan sebagian kewenangan mengelola lingkungan hidup di daerah belum mampu dilaksanakan dengan baik. Ego kedaerahan masih sering nampak dalam pelaksanaan pengelola lingkungan hidup, demikian juga ego sektor pendanaan uang masih sangat kurang untuk bidang lingkungan hidup. Program dan kegiatan mesti didukung dengan dana yang memadai apabila mengaharpkan keberhasilan dengan baik. Kalaupun semua orang mengakui bahwa lingkungan hidup merupakan bidang yang penting dan sangat diperlukan, namun pada kenyataannya PAD masih terlalu rendah yang dialokasikan untuk program pengelola lingkungan hidup, diperparah lagi tidak adanya dana dari APBN yang dialokasikan langsung kedaerah untuk pengelolaan lingkungan hidup.

Fakta menunjukkan bahwa untuk tidak terjadi keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan hidup. Eksploitasi SDA masih terlalu mengedepankan profit dari sisi ekonomi.11




PENUTUP

Pengertian dari istilah otonomi dan desentralisasi secara umum dipahami oleh kebanyakan orang memiliki makna yang mandiri sama yaitu atas kewenangan yang diberikan oleh pihak atas kepada pihak bawah. Misalkan saja dalam otonomi daerah, pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk bisa menadiri dalam mengatur, menyusun dan mengurus SDA dan SDM didaerah tersebut, tanpa meniadakan keputusan/kebijakan dari pemerintah pusat.

Dalam pemberian kewenangan-kewenangan, hendaknya pemerintah pusat tida begitu saja meningggalkan pemerintah daerah dalam hal pehatian, pemberian kebijakan-kebijakan, serta hal-hal yang berpengaruh terhadap kemandirian daerah itu.

Konsep otonomi daerah dan desentralisasi, digunakan hampir oleh setiap negara sebagai suatu asas dalam sistem penyelenggaraan pemerintah negara, karena kedua hal tersebut menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang kepada organ-organ penyelenggara negara.


SALAM PERGEREAKAN ………!


DAFTAR PUSTAKA

Abe, Alexander, 2001, Perenanaan Daerah Partiasipatif, Yogyakarta: Pembaruan

Kaloh, J., 2007, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Jakarta: PT Rineka Cipta

Kansil, 1986, Hukum Tata pemerintahan Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia

Tim ICCE UIN Jakarta, 2000, Demokrasi,Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

id.wikipe-dia.org/wiki/otonomi daerah.

geo.ugm-ac.id/archives/125

www.Indonesia-Ottawa.org/page.php
Description: SUMBER DAYA ALAM DAN SUMBER DAYA MANUSIA YANG MENDUKUNG OTONOMI DAERAH
Reviewer: Unknown
Rating: 4.0
ItemReviewed: SUMBER DAYA ALAM DAN SUMBER DAYA MANUSIA YANG MENDUKUNG OTONOMI DAERAH

Tidak ada komentar:

Apakah blog ini membantu?

Networking Area