Look up

Kamis, 28 Juli 2011

Unknown 03.18.00 , , ,
Lanjutan,... [Edisi I]

Model aliran Islam telah banyak berkembang di Negara tercinta ini, bahkan budaya asal yang seharusnya menjadi rujukan atas konsep pemikiran dan keyakinan yang sesuai dianggap “bid’ah” dan menyesatkan. Konsep Khilafah menjadi rujukan atas kejenuhan pemerintahan yang ada. Sementara Khilafah sendiri masih mempunyai tanda tanya besar dari kesempurnaan yang ideal. Maka dari hal tersebutlah banyak bermunculan kontroversi yang saling menciderai. Lantas apakah kita akan menguasai Negara dengan mengembalikan zaman dimasa silam? Dengan menjadikan agama sebagai dasar hukum atau azas Negara ini? Tentunya tidak, NU dan Muhamadiyah yang menjadi dua kekuatan besar di Negara inipun menghargai toleransi dengan menghapuskan Islam sebagai dasar Negara dan meng-amini Pancasila sebagai pemersatu keutuhan dan kekuatan yang harus dijunjung tinggi. Mereka menerapkan konsep aswaja dalam menegakkan kedaulatan. Sehingga sering disebut sebagai aliran yang moderat. Berbanding terbalik dengan mereka yang mengklaim dirinya sebagai pembaharu yang lebih bersifat radikal. Atau istilah lainnya dengan model “garis keras” demi mengembalikan Islam dan Negara yang ideal dengan dalih menggunakan konsep Khilafah tersebut.

Di daerah seperti Arab Saudi, Pakistan, Sudan, dan negera Timur Tengah lainnya telah berhasil memaksakan ideologinya sebagai ideologi Negara. Sementara dikebanyakan belahan dunia Islam, hampir tidak ada usaha serius untuk mengungkap gerakan-gerakan radikal serta mobilisasi dukungan untuk pandangan dan pengamalan Islam yang umumnya toleran, pluralistik dan sejalan dengan perkembangan dunia modern. Berbeda dengan di Indonesia, Islam spiritual masih kuat dengan adanya tokoh-tokoh besar yang menyadari akan bahaya radikalisme tersebut. Infiltrasi dan aksi organisasi radikal tersebut setidaknya telah dibendung dengan beberapa kaidah seperti dikeluarkannya SKPP Muhamadiyah No 149/Kep/I.0/B/2006 dan Fatwa Majelis Bahtsul Masa’il NU tentang Khilafah Islamiyah serta respon para ulama dan tokoh nasional tentang bahaya dan ancaman gerakan transnasional.

Lantas apakah hal tersebut dapat dikatakan sebagai penjajahan modern? Mereka mengidentifikasikan masalah kedalam pembenaran sejarah Nabi dan masanya. Yang dikaitkan dengan kondisi riil dewasa ini. Kaum non-muslim yang menggerogoti idealisme dan kaum yang berdalih muslim dengan gerakan yang sama.

Dengan kata lain, infiltrasi radikalisme yang berakulturasi dengan budaya pembebasan terhadap Islam Indonesia dianggap sebagai rezim baru yang mampu menyelamatkan Negara ini. Padahal sejatinya mengikis konsesus yang telah disepakati para pemrakarsa kedaulatan dan keutuhan NKRI. Masyarakat yang tidak tahu-menahu dijadikan sebagai alat untuk penggalangan massa melalui doktrinasi dari aliran-aliran sempalan. Maka dari hal tersbut perlu kita ketahui, apakah itu Islam radikal dan Islam moderat sehingga kita tidak mudah terjerumus kedalam hal yang belum kita cermati.

Islam radikal atau garis keras diklasifikasikan sebagai individu dan organisasi:

Individu garis keras adalah orang yang menganut pemutlakan atau absolutisme pemahaman agama atau sering disebut tekstual tanpa memperhatikan asbab an-nuzul nya; bersikap tidak toleran terhadap sikap atau pandangan yang berbeda; berperilaku mendorong orang lain atau pemerintahan untuk berperilaku sesuai pandangannya sendiri; memusuhi dan membenci orang lain yang berbeda pandangan dengannya; mendukung larangan yang dibuat atas perbedaan pemahaman atau keyakinan selain yang dimilikinya; membenarkan kekerasan atau memerangi orang lain yang tidak satu paham dengannya; menolak dasar Negara Pancasila sebagai landasan hidup dalam berbangsa dan bernegara dan atau menginginkan adanya dasar Negara Islam, bentuk Negara Islam, atau Khilafah Islamiyah.

Organisasi radikal adalah kelompok yang beranggotakan individu-individu radikal (seperti tersebut di atas) dengan visi-misi organisasi yang menunjukan orientasi tidak toleran atas perbedaan, baik semua karakter ini ditunjukan secara terbuka atau tersembunyi.

Islam Moderat diklasifikasikan sebagai individu dan organisasi:

Individu moderat adalah individu yang menerima dan menghargai pandangan dan keyakinan yang berbeda sebagai fitrah; tidak memaksakan kebenaran yang diyakininya kepada orang lain, baik secara individu maupun pemerintahan; menolak kekerasan atasnama agama dalam bentuk apapun; bersikap toleran atas perbedaan keyakinan yang dijamin oleh konstitusi Negara; menerima dasar Negara Pancasila sebagai landasan hidup bersama dan NKRI sebagai Konsensus final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang melindungi perbedaan beragama yang diakui di Negara ini.

Organisai moderat adalah kelompok yang beranggotakan individu-individu berkarakteristik moderat dengan visi-misi organisasi yang menerima dasar Negara Pancasila sebagai landasan hidup bersama dan NKRI sebagai Konsensus final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Nah, dari beberapa pengertian di atas kiranya dapat memberikan sedikit gambaran tentang siapa dan bagaimana aliran Islam yang ada di Negara ini. Tentunya merefleksi secara kompleks mulai dari diri dengan lingkungan yang kita jamah disetiap keseharian kita. Secara sepihak memang terkadang dibutuhkan individu atau organisasi radikal sebagai media tempur peng-qabul ambisi politik manusia, mereka mengakui dan membenarkan bahwa golongan radikal sangat diperlukan dan memang harus ada atau bahkan di-ada-kan. Dengan dalih “gak ada lo gak rame” alias dibutuhkan guna “pengkaburan” konsepsi inti dalam pengambil alihan kekuasaan atau “pengalihan isu” atas penyelewengan kekuasaan yang dikemas dalam manajemen konflik yang komplek.

Lagi-lagi manajemen konflik, mungkin itu bahasa akademis yang populer untuk menggantikan istilah sejenisnya-politik adu domba. Mengorbankan bidak dalam permainan catur guna tujuan penghancuran dan atau pengambil alihan kekuasaan yang lebih relefan. Atau jangan-jangan kita telah dibodohi pula melalui dunia akademis yang merujuk pada imperialisme barat?

Pada dasarnya “ambisi”akan menggunakan segala cara dalam mengambil alih kekuasaan di Negara ini, baik melalui jalan yang satu ataupun jalan yang lainnya. Padahal Rosulullah SAW pernah bersabda kepada sahabatnya; “Raja’naa min jihaad al-ashghar ilaa jihaad al-akbar ” sepulang dari perang Badr (perang besar dimasa itu). Para sahabat bertanya-tanya, perang (qital) apa lagi yang lebih besar atau dahsyat daripada itu? Kemudian Rasulullah menjawab “perang melawan hawa nafsu”.

Hawa nafsu adalah suatu kekuatan yang selalu menyimpan potensi destruktif dan membuat jiwa selalu dalam keadaan resah, gelisah, alias tidak pernah tenang. Para Ulama kerap membandingkan antara hawa nafsu dengan binatang liar. Siapapun yang mampu menjinakan hawa nafsunya maka dia akan tenang dan mampu menggunakan nafsunya untuk aktifitas yang bertujuan luhur. Sebaliknya, siapapun yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya maka dia tidak akan pernah menemukan ketenangan dalam beraktifitas, dia membahayakan dirinya dan orang lain disekitarnya.

Dari dua perspektif di atas, dimunculkan kategori al-nafs al-muthmainnah yakni orang yang mampu menjinakan hawa nafsunya sehingga dapat memberikan manfaat disekitarnya, mereka adalah pribadi yang tenang dan damai, menjadi representasi kehadiran spiritualitas atau Kholifatulloh yang sebenarnya. Sementara kategori yang kedua al-nafs al-lawwamah yakni orang yang masih dikuasai hawa nafsu sehingga selalu gelisah dan biang keresahan lingkungan disekitarnya, mereka adalah para pembuat masalah yang menjadi representasi kebiadaban hawa nafsu atau orang-orang musyrik sebenarnya.

Kemudian, apakah tepat kiranya menyebut para “pembaharu” itu sebagai kaum radikal al-nafs al-lawwamah yang membahayakan bangsa ini dan menjadi sumber keresahan atas kebiadaban nafsu sesatnya? Mengikis NKRI seperti yang telah disebutkan para pendiri Negara ini? Menghapuskan konsep kebhinekaan yang pernah dituliskan? Secara sepihak, jawabannya adalah “iya”.

Para pendiri bangsa sadar bahwa tidak ada prisip yang bertentangan dengan ajaran agama didalam tubuh Pancasila. Justru sebaliknya, prinsip-prinsip dasar dalam pancasila merefleksi pesan-pesan semua umat agama, dalam Islam dikenal dengan istilah maqoshid al-syariah atau the common well yakni sebuah kemaslahatan umum. Dengan kata lain, mereka menolak pendirian atau formalisasi agama dan lebih menekankan substansinya. Mereka memposisikan agama sebagai institusi yang mengakui keberagaman, mengayomi, melindungi segenap keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa yang menjadi kekayaan Indonesia. Dengan demikian, melalui pancasila mereka menghadirkan agama sebagai wujud kasih sayang Tuhan (rahmatan lil ‘alamin) kepada setiap mahluk-Nya.

Sementara disisi lainnya, para pembaharu itu menganggap bahwa terdapat kejanggalan dalam rangka memelihara “kenyamanan” Negara. Stagnasi yang selalu diperjuangkan itu adalah kekonyolan yang tidak logis. Dengan berlatar belakang hadist Nabi SAW: “Hari ini harus lebih baik daripada hari kemarin” alias jika hari ini sama dengan hari kemarin, maka dia merugi. Dan jika hari esok masih sama dengan hari ini, maka dia celaka. Artinya harus senantiasa ada perubahan yang signifikan dan disesuaikan dengan zaman yang sedang berkembang ini. Karena mereka beranggapan bahwa jika kita ingin survive maka kita harus menyesuaikan alam dan waktu, mengikuti perkembangan zaman. Berpemikiran maju, jangka panjang, modernis, dan lain sebagainya. Maka dari hal tersebut mereka menyebarkan kebiasaan-kebiasaan yang disebut “budaya” yang dikatakan sedang trend dewasa ini. Mulai menggerogoti budaya asli yang menjadi identitas bangsa sendiri. Menebarkan virus “katro” dan ketinggalan zaman bagi mereka yang tidak mengikutinya, membanggakan kemajuan teknologi dengan penggunaan yang berlebih dan bahkan diselewengkan dari tujuan dibuatnya atau ditemukannya teknologi yang mutahir itu.

Memang benar, masyarakat tidak akan bertahan lama jika dalam kesehariannya tidak mengikuti perkembangan zaman. Begitu juga Islam, akan semakin mempertanyakan esensi rahmatan lil’alamin-nya jika sampai terhenti oleh waktu dan lingkungan sekitarnya. Penyempitan makna akan menjadi penghilangan atau penghapusan suatu ajaran yang telah bertahan lama. Oleh karena itu muncullah fiqh klasik dan fiqh kotemporer atau modern guna membahas hal-hal atau penentuan kaidah hukum dalam realita yang berkembang seperti sekarang ini.

Sebagai contoh penggunaan traffic light atau lampu lantas di setiap perempatan ataupun persimpangan jalan. Bagaimanakah hukumya? Sementara pada zaman dahulu dimasa Nabi atau sahabat belum ditemukannya hal tersebut? Apakah kita akan mencari hukumnya pada Al-Quran maupun Hadist? Tentunya tidak didapati disana. Namun melalui kajian fiqh modern kita dapat mengambil substansi dari penggunaan hukum penerapan traffic light pada masa sekarang ini. Menarik qiyas dari persamaan hukum yang berlaku dalam sumber-sumber hukum utama, Qur’an dan hadis. Maka dari itu, muncullah atau diambillah kaidah tentang kewajiban menjaga diri, larangan mencelekakan orang lain, penertiban, atau hal lainnya yang bersifat kemaslahatan. Sehingga penggunaan hukum untuk traffic light menjadi sebuah anjuran yang diwajibkan, dengan ditambahkan peraturan umara’ atau pemerintah. Berarti dengan jelas disebutkan bahwa Islam memang agama yang up to date dari masa kemasa namun dengan tidak meninggalkan budaya yang menjadi warisan.

Apakah kemudian islam radikal telah berupaya menyamarkan ideologi pemahamannya menjadi “seolah” Islam moderat? Mereka seperti menerima pembaharuan tapi juga memaksakan ideologinya untuk dapat atau harus diterima orang lain? Kemungkinan yang paling relefan adalah “iya”. Hal tersebut merupakan metode yang paling tepat digunakan dewasa ini untuk tujuan mempolitisi massa dibalik kebimbangan akan pelestarian budaya dan warisan bangsa dengan modernitas budaya yang sebelumnya tidak dikenal. Dan sesungguhnya terjadi inkonsistensi dalam alur pemikiran dan langkah gerak mereka yang radikal namun terkesan moderat.

Tujuannya masih sama, yakni pendirian Negara yang berbasis pada agama atau mendirikan Negara agama yang sesuai dengan keyakinan mereka. Sikap tersebut mengingatkan kita pada gerakan Darul Islam (DI) yang pernah ada di negeri tercinta ini. Mereka berkeinginan mendirikan Negara Islam Indonesia dengan konsep Khilafah Islamiyah dan menggantikan Pancasila dan UUD 45 dari dasar Negara. Secara implisit mereka mengkliam bahwa para aktifis garis keras secara sepenuhnya memahami maksud yang terkandung dalam Al-Qur’an dan oleh karena itu mereka berhak menjadi wakil Allah (khilafat Allah) untuk menguasai dunia dengan memaksakan pemahaman sempurnanya sebagai sesuatu yang harus dijadikan dasar pijakan. Hal tersebut tidak bisa diterima secara logis baik teologis maupun politis. Mereka benar bahwa tiada kekuasaan selain Allah (la hukm illa li Allah), namun tak seorangpun yang pada sejatinya memahami seperti apa kekuasaan Allah. Seperti sabda Nabi SAW “kalian tidak tahu apa sebenarnya hukum Allah”. Sekalipun didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadist, fiqh-justifikasi teologi- sebenarnya adalah hasil usaha manusia yang terikat dengan tempat, waktu, dan kemampuan merumuskan hukum yang berlaku. Dan jika merujuk pada fiqh tersebut tentu masih terdapat kekuarangan dan kesempurnaan jika dibandingkan dengan hukum Allah. Oleh karena itu tidak dibenarkan jika harus memaksakan kehendak yang sejatinya belum mendapat kejelasan yang disepakati oleh banyak orang.

Disini, Islam dijadikan dalih untuk mendiskreditkan dan menyerang siapapun yang tidak memiliki pemahaman yang sama. Jargon memperjuangkan Islam sebenarnya adalah memperjuangkan suatu agenda politik tertentu dengan menggunakan istilah Islam sebagai kemasan dan senjata yang paling ampuh. Siapapun yang melawan atau tidak sepemahaman dengan mereka berarti bertentangan dengan Islam. Padahal sejatinya tidak seperti itu, karena dalam ber-Islam mengenal ishlah. Sementara mereka menyamakan metode yang digunakan Nabi SAW dalam menyebarkan Islam untuk kepentingan politis mereka dengan dalih penerapan sunnah Rosul. Nabi SAW memang memaksakan kaum kafir untuk beragama Islam, namun dengan “tingkatan model” tidak serta-merta langsung diperangi. Dan setelah itu Nabi menghormati mereka yang beragama lain yang tinggal di Negaranya. Ada pembedaan kaum kafir disini, yakni kafir yang memang harus diperangi dengan yang tidak (selama mereka membayar pajak atau mengikuti ketentuan yang berlaku). Artinya tidak semua kafir atau non Islam harus diperangi, namun mereka juga mempunyai hak untuk dilindungi selagi mereka tidak melawan aturan yang berlaku di Negera Islam.

Dari hal tersebut, kita seharusnya sadar bahwa jika Islam diubah menjadi ideologi politik maka ia akan menjadi sempit. Hal itu dikarenakan Islam akan terbatas pada batasan-batasan ideologis dan platform politik. Pemahaman apapun yang berbeda dan bertentangan dengan mereka akan dituduh bertentangan dengan Islam. Dalam bingkai inilah pengkafiran dan pemurtadan seringkali dituduhkan pada mereka yang tidak sepaham dan dinyatakan sebagai pemberontak yang harus diperangi. Sangat berbeda dengan substansi Islam yang sejatinya penuh kasih sayang dan toleransi, sebagai agama rahmatan li al’amin.

bersambung,...
Description: RESTORASI ISLAM RADIKAL VS MODERAT DALAM PENGUASAAN NEGARA BANGSA [Edisi II]
Reviewer: Unknown
Rating: 4.0
ItemReviewed: RESTORASI ISLAM RADIKAL VS MODERAT DALAM PENGUASAAN NEGARA BANGSA [Edisi II]

Tidak ada komentar:

Apakah blog ini membantu?

Networking Area