Strategi Demokrasi dan Konsolidasi Demokrasi |
Transisi Tanpa
Reformasi Total
Kajian-kajian
tentang masa peralihan dari era otoritarianisme ke era demokrasi
(liberalisasi), atau juga lazim disebut sebagai masa transisi menunjukkan, pada
akhirnya transisi selalu bermuara pada salah satu dari dua kutub ekstrim yang
saling bertentangan: demokrasi di satu sisi, atau rezim otoriter di sisi lain.
Jika dalam masa peralihan dari rezim otoriter sebelumnya dapat dikelola dengan
baik oleh pemerintah yang menggantikannya, yaitu adanya pelembagaan demokrasi,
terbukanya saluran bagi kaum oposisi, adanya kebebasan sipil, dan terlaksananya
rule of law, niscaya transisi akan bermuara pada demokrasi.
Namun
sebaliknya, kalau pemerintah di era transisi gagal mengelola dinamika yang
berkembang, dapat dipastikan, yang terjadi kemudian adalah involusi demokrasi.
Pada situasi yang demikian, peluang jatuhnya transisi kembali ke dalam pelukan
otoritarianisme semakin terbuka lebar. Bangsa Indonesia saat ini sedang berada
dalam persimpangan jalan paling menentukan arah transisi. Apakah transisi akan
kandas di tengah jalan, lantas tenggelam oleh gempuran otoritarianisme, ataukah
transisi akan berujung pada lahirnya sebuah tatanan baru yang lebih demokratis
sekarang ini tengah menghadapi tantangan dan ujian. Tantangan pertama adalah
dipakainya pendekatan ‘elektoralisme’ oleh kelompok reformis dalam mendorong
demokratisasi. Jika pendekatan ini yang digunakan, maka demokrasi hanyalah
sekedar sebuah sistem dimana elit politik memperoleh kekuasaan untuk memerintah
melalui satu pertarungan kompetitif guna mendapatkan suara rakyat. Meskipun
dalam konsep demokrasi minimalis ini pada tingkat tertentu juga mengakui adanya
kebebasan organisasi dan institusi sipil agar kompetisi menjadi lebih bermakna.
Tetapi dalam konsep minimalis semacam ini biasanya tidak begitu menaruh perhatian
pada konsep-konsep kebebasan tersebut maupun menyertakannya dalam ukuran-ukuran
aktual demokrasi. Tak heran jika demokrasi semacam ini kerap didefinisikan
sekedar sebagai sebuah rezim penyelenggara pemilihan-pemilihan umum.
Konsep
semacam ini sebenarnya sangat beresiko menimbulkan apa yang disebut oleh Terry
Karl dengan ‘kekeliruan elektoral’. Konsep demokrasi –meminjam istilah
Diamond-- yang cacat ini mengistimewakan pemilu di atas dimensi-dimensi lain,
dan mengabaikan kemungkinan-kemungkinan yang bisa ditimbulkan oleh pemilu
multipartai, misalnya terpinggirkannya hak-hak sebagian masyarakat untuk dapat
ikut bersaing memperebutkan kekuasaan dan menciptakan arena-arena pembuatan
kebijakan penting yang berada di luar kendali para pejabat terpilih. Artinya,
tidak mustahil dengan Pemilu yang kompetitif pun akan lahir apa yang
diistilahkan Olle Tornquist (1999) sebagai ‘demokrasi kaum penjahat’. Dalam
bentuk seperti ini demokrasi hanya akan terjadi secara formal, namun tidak
diiringi dengan partisipasi rakyat yang sungguhsungguh dalam pemilu dan dalam
pembuatan kebijakan pemerintah. Ancaman munculnya ‘demokrasi kaum penjahat’ ini
di Indonesia merupakan hal yang cukup serius. Karena benih-benih ‘demokrasi
kaum penjahat’ di Indonesia telah ditanamkan secara dalam terutama dalam masa
pemerintahan Soeharto dan diperluas lagi di era reformasi. Tanda-tanda
‘demokrasi kaum penjahat’ semakin kelihatan jelas akhir-akhir ini. Sebagai
contoh adalah adanya kesenjangan yang sangat lebar antara elit partai dengan
konstituennya dan seringnya terjadi manipulasi suara rakyat demi kepentingan
serta ambisi orang atau sekelompok orang yang bercokol di tubuh partai.
Padahal
kalau ditengok lagi ke belakang, yaitu ketika angin reformasi pertama kali
dihembuskan, yang dimaksud dengan reformasi bukanlah semata-mata pergantian top
leader dan pengisian serta rotasi jabatan-jabatan strategis semata. Kata
reformasi mengandung muatan tuntutan programatik agar dilakukan perubahan
secara sistemik atau sering disebut dengan istilah reformasi total. Hal inilah
yang kemudian tidak dipahami atau justru dimanipulasi oleh para elit. Makna
reformasi menjadi semakin menyempit dan demikian merosot, yakni dilihat dalam
kerangka pergantian figur kepemimpinan nasional melalui prosedur demokrasi
formal, dengan sedikit bonus pada penggunaan sistem multipartai sebagai wujud
kebebasan beserikat dan berorganisasi.
Ironisnya,
Pemilu pertama di era reformasi sama sekali tidak mencerminkan watak atau
kehendak reformasi. Meskipun dalam Pemilu 1999 menggunakan sistem multipartai,
isu tentang akuntabilitas wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif
hampir-hampir tidak tersentuh dan tidak ada perdebatan yang cukup berarti
mengenai hal ini. Dua kelemahan mendasar Pemilu 1999 adalah pertama, suatu
undang-undang tentang pemilu baru dapat dikatakan menambah akuntabilitas sistem
perwakilan proporsional apabila ada cara yang menghubungkan seorang wakil
rakyat secara langsung dengan konstituennya. Undang-Undang yang mengatur Pemilu
1999 tidak pernah mengatur tentang hal ini. Yang terjadi justru para anggota
MPR dan DPR periode 1999 – 2005 masih dipilih oleh pemimpin partai di tingkat
nasional, sehingga akuntabilitas para wakil rakyat sangat tergantung kepada
akuntabilitas pemimpin partai tersebut.
Kedua,
belum ada perubahan yang mendasar mengenai hubungan legislatifeksekutif.
Meskipun sudah dilakukan amandemen terhadap konstitusi pada Agustus 2000, namun
hal itu hanya sedikit memperkuat posisi DPR dan MPR secara relatif terhadap
presiden, namun tetap tidak mengubah karakter UUD 1945 yang masih
mempertahankan sistem setengah presidensiil dan setengah parlementer. Artinya,
tidak ada perbedaan yang cukup substansial antara Pemilu 1999 dengan
Pemilu-Pemilu sebelumnya. Keterjebakan pada strategi ‘elektoralisme’ ini pula
yang kemudian membuat kelompok-kelompok pro demokrasi semakin terfragmentasi
dan gagal dalam melakukan konsolidasi demokrasi. Akibatnya, pasca tumbangnya
Soeharto, praktis tidak ada kelompok pro demokrasi dan reformasi yang mampu
menghadapi kekuatan-kekuatan politik lama. Bahkan sebagian diantara mereka
masuk perangkap dan semakin terkooptasi oleh kekuatan lama tersebut. Padahal
idealnya sebelum masuk ke dalam arena prosedural-elektoral, kelompok-kelompok yang
waktu itu mengusung dan memenangkan reformasi terlebih dahulu harus memenangkan
pertarungan di lini pertama, yaitu membuat garis demarkasi yang jelas dengan
kelompok pro status quo. Dengan demikian ada evaluasi dan ‘penghakiman’
terhadap rezim sebelumnya. Tanpa itu, batas antara benarsalah, baik-buruk,
agenda reformasi-bukan agenda reformasi, menjadi sangat kabur. Setelah tahap
ini selesai dilakukan dan tercipta garis batas yang jelas, diantara sesama
kelompok reformis harusnya menyepakati agenda-agenda reformasi yang hendak
diusung bersama, termasuk di dalamnya adalah menciptakan arena baru sebagai
ajang kompetisi dan pembentukan pemerintahan yang legitimate. Ketika agenda
reformasi belum disepakati kemudian melompat masuk ke dalam arena pemilu
(demokrasi prosedural-elektoral), maka persaingan dan konflikpun menjadi
semakin meluas.
Pertarungan
atau konflik tidak hanya terjadi antara kelompok pro demokrasi melawan pro
status quo saja, tapi juga terjadi sesama kelompok pro demokrasi sendiri.
Masuknya kelompok pengusung demokrasi ke dalam arena Pemilu inilah yang kemudian
membuat transisi demokrasi di Indonesia semakin rentan dan berliku. Pertarungan
di lini pertama belum tuntas, kelompok pro demokrasi dan reformasi sudah
disibukkan dengan pertarungan di lini kedua yang mempertemukan antar kekuatan
pro demokrasi dan reformasi sendiri. Dan nyatanya, pertarungan memperebutan
jabatan-jabatan politik strategis di lini kedua ini jauh lebih seru dan
mendebarkan dibandingkan dengan konflik di lini pertama. Tengok saja misalnya
manuver “Poros Tengah” yang dimotori Amien Rais, yang kemudian berhasil
menggalang dukungan bagi Gus Dur untuk naik ke kursi RI 1. Persaingan menjadi
semakin atraktif dan akrobatik ketika Bulog Gate dan Brunei Gate mencuat ke
permukaan. Padahal jika dikaji lebih dalam lagi, manuvermanuver politik yang
waktu itu dilakukan oleh para elit politik sama sekali tidak mempunyai
signifikasi terhadap agenda demokratisasi. Puncak dari peristiwa politik yang
kontra produktif terhadap demokrasi ini adalah jatuhnya Gus Dur dari kursi
Presiden yang kemudian digantikan oleh Megawati, yang sebelumnya menjabat
sebagai Wakil Presiden. Sejak saat itulah sebenarnya reformasi sudah lenyap
ditelan pragmatisme elit politik yang senang berebut kekuasaan.
Ancaman
dan tantangan yang kedua muncul dari bangkitnya kekuatan Orbais di panggung
politik dengan memanfaatkan prosedur demokrasi formal. Bahkan terkesan, kaum
Orbais ini semakin percaya diri memanfaatkan panggung yang ada untuk melakukan
konsolidasi ekonomi-politik merebut jabatan-jabatan strategis kekuasaan. Tilik
misalnya Ajakan R. Hartono, Ketua Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) untuk
menjadi antek Soeharto pada saat kampanyenya di Jogjakarta beberapa waktu lalu.
Dua atau tiga tahun lalu, rasanya mustahil orang akan dengan bangga mengatakan
dirinya antek Soeharto, apalagi sampai memprovokasi orang lain menjadi antek
Soeharto. Nampaknya Hartono menganggap masyarakat Indonesia sudah menderita
amnesia sehingga dengan percaya diri dia mengajak masyarakat menjadi antek
Soeharto. Dia menganggap masyarakat lupa bahwa Soeharto adalah pemimpin paling
korup, sekaligus salah satu simbol diktator di dunia. Kegagalan partai-partai
politik dan aktor-aktor politik baru dalam melakukan konsolidasi ekonomi
politik pasca tumbangnya Soeharto nampaknya adalah sumber munculnya distrust
masyarakat kepada partai politik dan aktor-aktor politik baru. Inilah yang
kemudian dimanipulasi sedemikian rupa oleh kelompok Orbais sebagai kegagalan
demokrasi, dengan mewacanakan klaim bahwa masa Orde Baru adalah masa kejayaan
bangsa Indonesia. Sebuah pembodohan yang luar biasa! Bayangkan, selama 32 tahun
terbukti Orde Baru telah gagal melakukan distribusi ekonomi untuk kesejahteraan
rakyat.
Sektor
ekonomi pada masa Orde Baru dikuasai oleh para konglomerat daripada oleh pelaku
industri kecil dan menengah. Pada masa Orde Baru pula hutang pemerintah
mencapai mencapai US$ 65,5 miliar dan swasta sebesar US$ 72,2 miliar. Warisan
kebobrokan sistem peradilan di Indonesia sampai hari inipun adalah warisan Orde
Baru yang selama masa kekuasaannya membiarkan praktek peradilan dikuasai oleh
para mafia. Keadilan dalam situasi seperti ini jelas menjadi milik mereka yang
berduit daripada berpihak pada rasa keadilan itu sendiri. Tiga poin di atas
hanya sekedar contoh betapa sebenarnya Orde Baru yang dipimpin Soeharto telah
melakukan perusakan luar biasa terhadap sistem sosial politik di Indonesia,
dimana dampaknya masih bisa dirasakan sampai sekarang. Ajakan yang dilakukan
Hartono untuk kembali pada jaman Orba berarti sama dengan mengajak bangsa
Indonesia kembali pada era hutang, era konglomerat, era otoriter, era
pembatasan terhadap kebebasan berbicara dan berorganisasi, serta era represi
militer
Pemilu sebagai
Momentum Konsolidasi Demokrasi
Dua
ancaman di atas agaknya sudah cukup dipakai sebagai titik tolak untuk segera
melakukan penataan ulang agenda-agenda demokratisasi. Apalagi, hasil Pemilu
Legislatif memperlihatkan semakin kaburnya harapan akan terjadi transformasi
politik yang signifikan mendorong demokratisasi. PDI Perjuangan dan Golkar
sebagai dua partai pemenang Pemilu 1999 terbukti gagal melakukan transformasi
politik dan melaksanakan tugas dasar mereka sebagai partai politik, yaitu
mengartikulasikan serta mengagregasikan aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Celakanya, dua partai ini pula yang tampil sebagai pemenang pada Pemilu 2004.
Jika
Pemilu bisa membangkitkan kekuatan-kekuatan lama ke atas panggung politik
formal dengan memanfaatkan prosedur demokrasi, maka seharusnya Pemilu juga bisa
dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan pro demokrasi untuk mengkonsolidasikan diri,
baik itu yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Karena logikanya
Pemilu adalah centrum dari rotasi dan sirkulasi elit penguasa, upaya-upaya
politik dalam bentuk pembentukan aliansi, koalisi, dan sebagainya merupakan
strategi yang tak terhindarkan. Cara-cara seperti itulah yang kemudian
diharapkan akan efektif menjauhkan mereka yang tidak berpihak pada kepentingan
masyarakat dari kesempatan menyelewengkan kekuasaannya. Pemilihan Presiden yang
akan diselenggarakan dalam waktu dekat ini adalah momentum bagi kelompok pro
demokrasi untuk mengkonsolidasikan diri. Kalau pada Pemilu Legislatif kemarin
kekuatan-kekuatan politik demokratik gagal melakukan transformasi dan
pendidikan politik kepada masyarakat sehingga tidak ada perubahan konfigurasi
politik, adalah sebuah keniscayaan jika pada Pemilu Presiden mendatang perlu
segera dilakukan konsolidasi yang melibatkan aktor-aktor politik, partai-partai
politik, dan organisasi-organisasi sipil demokratik yang lebih luas. Isu
strategis yang dapat diusung pada konteks ini misalnya adalah menghadang
bangkitnya kekuatan Neo Orde Baru. Yang dimaksud dengan Neo Orba disini bukan
semata-mata tersimbolkan pada partaipartai politik yang dulu nyata-nyata
mendukung Orba dan partai-partai politik yang berisi antek-antek Soeharto. Yang
dimaksud dengan Neo Orba dalam hal ini adalah semua aktor dan kekuatan-kekuatan
politik yang mempunyai kesamaan watak, budaya, serta metode politik persis
dengan Orde Baru. Menghadang bangkitnya Neo Orba ini merupakan agenda penting
yang tidak bisa diremehkan sebagai strategi mengawal transisi demokrasi. Karena
faktanya, transisi membutuhkan kepemimpinan kuat yang mampu mengambil jarak
dengan kekuatan-kekuatan lama. Terbukti di Indonesia ketika transisi dipimpin
oleh figur yang sangat lemah dan tidak memiliki skill leadership memadai, yang
terjadi kemudian adalah negara menjadi semakin keropos dan tidak mampu
menjalankan fungsinya dengan baik. Sehingga sering muncul pertanyaan tentang
arti penting keberadaan negara bagi masyarakat. Pemimpin yang kuat juga berarti
pemimpin yang mampu mengambil jarak dengan kekuatan-kekuatan lama. Sehingga
proses pelanggaran dan kejahatan ekonomi politik di masa lalu dapat
diselesaikan melalui jalur hukum secara adil.
Dalam
jangka panjang, skenario konsolidasi bisa dipersiapkan untuk mengantisipasi
kemungkinan makin kuatnya dominasi kekuatan-kekuatan Neo Orba di aras demokrasi
formal. Pertama, berbicara tentang demokrasi juga berbicara chek and balances,
adanya kontrol terhadap kekuasaan. Jikalau kekuatan Neo Orba ini tidak lagi
terbendung, maka pembangunan oposisi di tingkat parlemen dengan memanfaatkan
instrumen-instrumen demokrasi formal yang ada merupakan sebuah keharusan atau
wajib hukumnya bagi partai-partai politik pro demokrasi. Tugas utama oposisi di
parlemen ini adalah membelejeti semua bentuk kecurangan dan manipulasi yang
berlangsung di tingkat parlemen. Tindak kecurangan dan manipulasi itu secara
terus menerus harus dikomunikasikan kepada publik sebagai bagian dari
pendidikan dan transformasi politik. Kedua, sejalan dengan pembangunan oposisi
di tingkat parlemen, di tingkat ekstra parlementer harus terbangun
organisasi-organisasi masyarakat sipil yang kuat, yang mampu mendukung
sekaligus mengontrol semua proses politik yang berlangsung di parlemen. Antara
gerakan di tingkat parlemen dan ekstra parlemen harus tercipta komunikasi
politik yang sehat dan saling mendukung. Manipulasi dan klaim biasanya muncul
ketika komunikasi politik tidak berjalan dengan baik dan timpang. Tuntutan dan
tawaran program yang disuarakan oleh gerakan ekstra parlementer harus segera
ditangkap oleh oposisi di parlemen. Sebaliknya, gerakan ekstra parlementer
harus juga memberikan dukungan ketika kaum oposisi di parlemen memperjuangkan
tuntutan yang disuarakan oleh kekuatan ekstra parlementer. Model komunikasi
politik yang sehat semacam ini selain mendinamisasikan serta mensolidkan
konsolidasi demokrasi, sekaligus sebagai pembangunan fatsoen politik baru di
Indonesia. Karena komunikasi politik yang berlangsung di Indonesia belakangan
ini selalu berporos pada money politic, sangat pragmatis dan mengabaikan moral
serta etika demokrasi.
Pada
konteks ini maka penting dilakukan distribusi peran di dalam kelompok pro
demokrasi. Peran mereka yang bergerak di civil society tentu saja berbeda
dengan mereka yang berada dalam political society. Yang terpenting, ada satu
muara dan titik yang hendak dituju bersama. Ibarat membangun sebuah rumah, maka
harus ada tukang batu, tukang kayu, tukang cat, dan sebagainya, dimana
masing-masing mempunyai tugas dan peran yang berbeda, namun saling mendukung
antara satu dengan yang lain. Selain membangun relasi antara gerakan ekstra
parlementer dengan oposisi di tingkat parlemen, demokratisasi bisa dilakukan
dengan membumikan demokrasi sehingga demokrasi dapat terinstitusionalisasi dan
menjadi bagian dari hidup sehari-hari. Institusionalisasi demokrasi ini harus
tertransformasikan kepada masyarakat luas dengan baik. Pengalaman selama tiga
puluh dua tahun di bawah rezim otoriter Orde Baru, membuat masyarakat buta
terhadap politik. Dalam pemahaman masyarakat, Pemilu adalah satu-satunya
instrumen demokrasi yang ada. Pasca Pemilu, masyarakat tidak pernah tahu
bagaiman kontrol terhadap pemeritahan dilakukan. Maklum, selama tiga puluh dua
tahun masyarakat telah dibutakan dari politik oleh rezim.
Selama
Orde Baru rezim selalu memanipulasi Pemilu sebagai satu-satunya arena
berdemokrasi –secara hiperbol disebut dengan pesta demokrasi. Pasca Pemilu
masyarakat tidak diperbolehkan berdemokrasi. Ruang dan waktu yang tersedia
untuk memperbincangkan politik serta merta ditutup ketika pemilu sudah usai.
Sehingga masyarakat benar-benar buta dengan banyaknya alternatif sarana
berdemokrasi, termasuk bahwa demokrasi sebenarnya adalah kehidupan sehari-hari
itu sendiri, bukan melulu yang berlangsung di aras formal.
(diambil dari makalah kaderisasi PMII)
Description: STRATEGI MOBILISASI & KONSOLIDASI DEMOKRASI
Reviewer: Unknown
Rating: 4.0
ItemReviewed: STRATEGI MOBILISASI & KONSOLIDASI DEMOKRASI
Reviewer: Unknown
Rating: 4.0
ItemReviewed: STRATEGI MOBILISASI & KONSOLIDASI DEMOKRASI
Tidak ada komentar: