LPM OBSESI |
Mahasiswa, biang kerusuhan dalam setiap demonstrasi. Mereka hanya bisa men-demo tanpa memberikan solusi. Itulah kiranya demonstrasi mahasiswa yang kerap terjadi di Indonesia, dan banyak orang yang memahaminya secara parsial. Dan demontrasi itu dinyatakan sebagai aksi anarkhis semata. Pemahaman publik selama ini tentang anarkhisme terjadi penafsiran an-etimologis. Sehingga ketika terjadi kekerasan dan tindakan brutal, maka akan sering dikonotasikan sebagai tindakan anarkhisme. Padahal sejatinya tidak semuanya seperti itu, karena pada dasarnya aksi mahasiswa (anarkhisme) tidak spontanitas. Mereka juga mempunyai analisa dalam mengembangkan rencana, taktik, dalam melihat persoalan secara diskusif. Dan mereka juga bukan penganut ideologi anarkhisme sesat, melainkan kaum akademis yang idealis. Artinya benar-benar mencoba dan selalu berusaha mencari kebenaran.
Anarkhisme sebenarnya adalah sebuah pemikiran sistem sosial, yang mempunyai dasar filosofi tersendiri. Ditelaah dari segi terminologinya, “An” artinya “tanpa” dan “Archi” artinya “negara”. Jadi, secara etimologis adalah “tanpa negara”. Defenisi tentang anarkhisme menurut Noam Chomsky adalah; “suatu ide, gagasan, sistem hidup sosial yang tidak dibatasi oleh kesadaran struktur organisasi sosial yang disebut negara atau struktur apapun yang bersifat membelenggu”
Secara umum anarkhisme adalah sebuah kesadaran sosial tanpa kelas. Individualisme an sich menjadi ukuran dalam mengejawantah kesadaran kolektif. Artinya, kesadaran kolektif dibangun berdasarkan kualitasi individual. Kualitasi individual menjadi masyarakat kolektif adalah kinerja suatu sistem sosial dalam pembentukan peradaban manusia. Kebalikan dengan yang dikatakan oleh JWF Hegel, “kondisi yang membentuk kesadaran, bukan kesadaran membentuk kondisi”. Artinya, masyarakat atau kesadaran kolektif adalah sebuah kekuatan kesadaran, yang membentuk kesadaran individu yang kemudian membangun peradaban.
Anarkhisme juga merupakan anak dari sosialisme. Sosialisme (sosialism) secara etimologi berasal dari bahasa Perancis sosial yang berarti kemasyarakatan. Istilah sosialisme pertama kali muncul di Perancis sekitar 1830. Umumnya sebutan itu dikenakan bagi aliran yang masing-masing hendak mewujutkan masyarakat yang berdasarkan hak milik bersama terhadap alat-alat produksi, dengan maksud agar produksi tidak lagi diselenggarakan oleh orang-orang atau lembaga perorangan atau swasta yang hanya memperoleh laba tetapi semata-mata untuk melayani kebutuhan masyarakat. Dalam arti tersebut ada empat macam aliran yang dinamakan sosialisme: (1) sosial demokrat, (2) komunisme,(3) anarkhisme, dan (4) sinkalisme (Ali Mudhofir, 1988). Sosialisme ini muncul kira-kira pada awal abad 19, tetapi gerakan ini belum berarti dalam lapangan politik. Baru sejak pertengahan abad 19 yaitu sejak terbit bukunya Marx, Manifes Komunis (1848), sosialisme itu (seakan-akan) sebagai faktor yang sangat menentukan jalannya sejarah umat manusia.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebenarnya anarkhisme adalah suatu paham dan bagian dari sosialime bertujuan mengajak pada kebaikan yang tidak terikat dan untuk kepentingan rakyat. Adalah sebuah pencideraan ketika orang cenderung mengkonotasikan anarkhisme kedalam arus negatif baik itu secara penyelewengan makna maupun distorsi klaim atas makna yang sesungguhnya. Sementara anarkhisme negatif lebih cenderung sering disuarakan pada aksi mahasiswa.
Phobia terhadap gerakan mahasiswa tidak perlu berlebihan, jika kita bisa telaah secara kritis. Terlalu memojokkan dan men-justice mahasiswa juga justru semakin memperkeruh keadaan. Manuver mahasiswa melakukan taktik menaikkan eskalasi, untuk menciptakan responsif hanya bagian dari strategi gerakan. Ini diakibatkan karena penguasa yang buta dan tuli dengan pesan/ himbauan aksi, longmarch, teatrikal, kritik, hingga yang bernuansa romantik. Maka akan menjadi hal logis ketika kemudian mahasiswa menggunakan strategi yang lebih “keras” dengan tujuan untuk menggedor mereka agar melihat dan mendengarkan aspirasi rakyat. Dan untuk kemudian merealisasikannya.
Adanya kasus/skandal korupsi dan ketidakadilan yang merajalela, dan tingkah laku para elit penguasa bermuka tembok, dan tidak tahu malu, memunculkan kegerahan kolektif mahasiswa. Setiap perubahan mendasar adalah chaos. Dan gerakan perubahan membutuhkan metodologi. Jadi, konprehensif-lah dalam mengurai dan menilai demonstrasi mahasiswa.
Bukankah pemberontakan adalah anak kandung dari ketidakadilan? Sekali lagi, anarki hanyalah metodologi taktikal emosional, bukan tujuan. Mungkin agak sarkastis dengan asumsi ini. Nah, pahami mahasiswa, agar tidak salah kaprah. Mahasiswa juga manusia, anak bangsa yang punya moral, dan rasa cinta. “Ketika tirani ketidakadilan membelenggu raga, maka pikiran harus menuntun akal untuk melawan dengan cara apapun!”(Hymme).
Entitas gerakan,
Kedudukan mahasiswa sebagai mekanisme kawalan, bermaksud sebagai pengimbang kepada kekuasaan yang ada pada pemerintah. Tugas tersebut, idealnya memang dilakukan oleh partai politik, namun sayang hal itu tidak berlaku, bahkan ”dimandulkan” oleh kekuasaan yang tidak mengenal apa yang dikatakan “kritikan”. Dalam konteks itulah, letak peranan mahasiswa sebagai agent of social control serta sebagai agent of change.
Namun kalau dinilai, gerakan mahasiswa yang baru saja dibahas, sepertinya tidak mempunyai visi yang jelas serta kehilangan konsep. Itu semua, disebabkan karena kesadaran mahasiswa akan suatu gerakan belum sepenuhnya terbuka, dan bahkan cenderung bersifat euforia. Hanya beberapa mahasiswa saja, yang benar-benar konsisten serta matang dalam menggagas gerakan pembaharuan menyuarakan aspirasi rakyat.
Kalau kita bandingkan mahasiswa sekarang dengan mahasiswa dahulu, sangatlah jauh berbeda. Dulu, mahasiswa dengan idealismenya dapat menjadi payung kepada masyarakat marhaen yang memerlukan pembelaan. Semangat juang yang digerakkan oleh pemimpin-pemimpin mahasiswa waktu itu, dengan setiap saat melakukan penyadaran terhadap rakyat, berhasil menghasilkan beberapa orang pemimpin ternama hari ini. Bandingkan hal tersebut dengan mahasiswa sekarang -yang mengalami degradasi- baik dari segi intelektualisme, idealisme, patriotisme, maupun semangat jati diri mereka. Mahasiswa sekarang, cenderung untuk berpikir pragmatis dalam menghadapi persoalan.
Kalaupun masih adanya persamaan dengan mahasiswa dahulu, itupun hanya sebagian dan sebagian kecil lainnya tidak lebih dari pemanfaatan gerakan saja. Alias pemecah persatuan dan kesatuan dengan tindakan anarkhisme negatif baik secara profokasi, tindakan langsung, maupun pemberitaan. Sehingga semakin menambah efek negatif dari gerakan yang sebetulnya bertujuan mulia. Akibatnya sedikit banyak mempengaruhi pola pikir, gaya hidup, dan lingkungan mahasiswa yang tadinya beraroma perjuangan menyeluruh menjadi perjuangan atas kepentingan pribadi. Dan ahirnya orang enggan dan antipati dengan gerakan mahasiswa yang hanya sebatas tontonan itu.
Ada dua persoalan yang mendasari analisis mengenai sebab-sebab hal tersebut, sehingga mahasiswa lebih bersikap hedonis. Pertama, pengaruh budaya barat yang tidak tersekat telah meracuni pemuda dan mahasiswa. Mereka dengan mudah meniru budaya asing tanpa menyadari resikonya, seperti berpesta pora, dan menghabiskan masa kepada perkara-perkara yang langsung tidak bermanfaat. Kedua, adanya pengaruh dari sistem pendidikan yang membentuk mentaliti mahasiswa. Ternyata, pola atau sistem yang digunakan oleh Orde Baru untuk melenyapkan idealisme serta daya kritis sangatlah ampuh dan efektif, yaitu dengan menerapkan sistem kapitalis dalam bidang ekonomi yang cenderung konsumtif. Di samping itu, sistem yang diterapkan dalam pendidikan, yang berteraskan lulus pemeriksaan membentuk pola pikir serta mentaliti mahasiswa, ternyata hanya menjadikan mereka sebagai kuli. Bahkan sampai dengan sekarang model seperti itu masih berlaku, hanya saja dengan gaya pembahasaan yang lebih relefan dan cenderung samar dari substansinya.
Mulai dari sekolah rendah, kita di ajar dengan ilmu yang bersifat dogma, serta sejarah yang dimanipulasi sedemikian rupa. Itu pun kita terima sebagai dogma. Dalam sistem pendidikan menengah pun, pada saat ini sama saja seperti itu. Sebab, kita diajari untuk mempelajari ilmunya dengan orientasi kerja. Jadi, kemerdekaan berfikir serta mempelajari ilmu serasa dibelenggu sistem yang membawanya pada orientasi tersebut. Dalam sistem pendidikan tinggi, seolah tak ada bedanya. Hanya saja konsepnya tidak dituntun oleh sistem namun lebih ke arah penjegalan, pelarangan, dan pembatasan-pembatasan ruang gerak mahasiswanya.
Sistem yang diterapkan dengan kaku dan diperburukkan dengan cost pendidikan yang tinggi membebani mahasiswa, mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap daya kritis mahasiswa serta idelismenya. Sebab, mahasiswa dituntut secara penuh berfikir mengenai hal-hal akademis semata-mata disamping tidak memikirkan soal-soal kerakyatan jika ingin terus menuntut ilmu di perguruan tinggi. Kondisi seperti itu, menjadikan kampus benar-benar menjadi suatu menara gading dan jauh dari jangkauan kalangan masyarakat kecil. Mahasiswa menjadi kelas yang elite dan sama sekali tidak tersentuh dengan persoalan kerakyatan.
Dari sistem seperti itu, terbentuklah mentaliti mahasiswa yang saat ini kita rasakan hedonis dan pragmatis, sebab kita dari awal dicetak untuk hidup yang serba praktis dan tidak mencoba berdialog dalam setiap pemikiran. Kita terjebak dengan hanya berdebat di bilik kuliah. Jarang sekali mahasiswa mencoba berfikir tentang persoalan kerakyatan, keagamaan, atau pun bagaimana konsep memajukan bangsa di era globalisasi ini. Mereka lebih suka diajak bersenang-senang untuk kepentingan pribadi yang bersifat sesaat, seperti kegiatan rekreatif (jika dibanding dengan kegiatan ilmiah).
Melihat fenomena tersebut, maka kita mempunyai kewajiban yang menjadi tuntutan untuk mengubah mentalitas yang hedonis dan pragmatis tersebut kembali kepada jati diri mahasiswa, yang mempunyai idealisme tinggi. Salah satu jalan alternatif untuk itu adalah dengan menghadapkan langsung mahasiswa pada persoalan-persoalan kerakyatan. Hal tersebut tentunya dilakukan melalui organisasi agar lebih terkontrol dan terlatih. Baik itu melalui organisasi intra kampus maupun ekstra kampus seperti PMII, HMI, IMM, KAMMI, atau organisasi ekstra lainnya.
Di samping itu, supaya berjalan seimbang, fungsi perguruan tinggi sebagai fungsi pengabdian masyarakat harus dilaksanakan tidak hanya terbatas pada simbol, tetapi benar-benar riil didalam aplikasinya. Hal itu, dimaksudkan untuk menolak pandangan kampus sebagai menara gading. Dengan begitu, idealisme serta daya kritis mahasiswa yang terasa hilang akan dapat dibangunkan kembali. Kesadaran sosial mahasiswa yang sebelumnya mengalami degradasi akan menjadi ideal kembali.
Anarkhisme sebenarnya adalah sebuah pemikiran sistem sosial, yang mempunyai dasar filosofi tersendiri. Ditelaah dari segi terminologinya, “An” artinya “tanpa” dan “Archi” artinya “negara”. Jadi, secara etimologis adalah “tanpa negara”. Defenisi tentang anarkhisme menurut Noam Chomsky adalah; “suatu ide, gagasan, sistem hidup sosial yang tidak dibatasi oleh kesadaran struktur organisasi sosial yang disebut negara atau struktur apapun yang bersifat membelenggu”
Secara umum anarkhisme adalah sebuah kesadaran sosial tanpa kelas. Individualisme an sich menjadi ukuran dalam mengejawantah kesadaran kolektif. Artinya, kesadaran kolektif dibangun berdasarkan kualitasi individual. Kualitasi individual menjadi masyarakat kolektif adalah kinerja suatu sistem sosial dalam pembentukan peradaban manusia. Kebalikan dengan yang dikatakan oleh JWF Hegel, “kondisi yang membentuk kesadaran, bukan kesadaran membentuk kondisi”. Artinya, masyarakat atau kesadaran kolektif adalah sebuah kekuatan kesadaran, yang membentuk kesadaran individu yang kemudian membangun peradaban.
Anarkhisme juga merupakan anak dari sosialisme. Sosialisme (sosialism) secara etimologi berasal dari bahasa Perancis sosial yang berarti kemasyarakatan. Istilah sosialisme pertama kali muncul di Perancis sekitar 1830. Umumnya sebutan itu dikenakan bagi aliran yang masing-masing hendak mewujutkan masyarakat yang berdasarkan hak milik bersama terhadap alat-alat produksi, dengan maksud agar produksi tidak lagi diselenggarakan oleh orang-orang atau lembaga perorangan atau swasta yang hanya memperoleh laba tetapi semata-mata untuk melayani kebutuhan masyarakat. Dalam arti tersebut ada empat macam aliran yang dinamakan sosialisme: (1) sosial demokrat, (2) komunisme,(3) anarkhisme, dan (4) sinkalisme (Ali Mudhofir, 1988). Sosialisme ini muncul kira-kira pada awal abad 19, tetapi gerakan ini belum berarti dalam lapangan politik. Baru sejak pertengahan abad 19 yaitu sejak terbit bukunya Marx, Manifes Komunis (1848), sosialisme itu (seakan-akan) sebagai faktor yang sangat menentukan jalannya sejarah umat manusia.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebenarnya anarkhisme adalah suatu paham dan bagian dari sosialime bertujuan mengajak pada kebaikan yang tidak terikat dan untuk kepentingan rakyat. Adalah sebuah pencideraan ketika orang cenderung mengkonotasikan anarkhisme kedalam arus negatif baik itu secara penyelewengan makna maupun distorsi klaim atas makna yang sesungguhnya. Sementara anarkhisme negatif lebih cenderung sering disuarakan pada aksi mahasiswa.
Phobia terhadap gerakan mahasiswa tidak perlu berlebihan, jika kita bisa telaah secara kritis. Terlalu memojokkan dan men-justice mahasiswa juga justru semakin memperkeruh keadaan. Manuver mahasiswa melakukan taktik menaikkan eskalasi, untuk menciptakan responsif hanya bagian dari strategi gerakan. Ini diakibatkan karena penguasa yang buta dan tuli dengan pesan/ himbauan aksi, longmarch, teatrikal, kritik, hingga yang bernuansa romantik. Maka akan menjadi hal logis ketika kemudian mahasiswa menggunakan strategi yang lebih “keras” dengan tujuan untuk menggedor mereka agar melihat dan mendengarkan aspirasi rakyat. Dan untuk kemudian merealisasikannya.
Adanya kasus/skandal korupsi dan ketidakadilan yang merajalela, dan tingkah laku para elit penguasa bermuka tembok, dan tidak tahu malu, memunculkan kegerahan kolektif mahasiswa. Setiap perubahan mendasar adalah chaos. Dan gerakan perubahan membutuhkan metodologi. Jadi, konprehensif-lah dalam mengurai dan menilai demonstrasi mahasiswa.
Bukankah pemberontakan adalah anak kandung dari ketidakadilan? Sekali lagi, anarki hanyalah metodologi taktikal emosional, bukan tujuan. Mungkin agak sarkastis dengan asumsi ini. Nah, pahami mahasiswa, agar tidak salah kaprah. Mahasiswa juga manusia, anak bangsa yang punya moral, dan rasa cinta. “Ketika tirani ketidakadilan membelenggu raga, maka pikiran harus menuntun akal untuk melawan dengan cara apapun!”(Hymme).
Entitas gerakan,
Kedudukan mahasiswa sebagai mekanisme kawalan, bermaksud sebagai pengimbang kepada kekuasaan yang ada pada pemerintah. Tugas tersebut, idealnya memang dilakukan oleh partai politik, namun sayang hal itu tidak berlaku, bahkan ”dimandulkan” oleh kekuasaan yang tidak mengenal apa yang dikatakan “kritikan”. Dalam konteks itulah, letak peranan mahasiswa sebagai agent of social control serta sebagai agent of change.
Namun kalau dinilai, gerakan mahasiswa yang baru saja dibahas, sepertinya tidak mempunyai visi yang jelas serta kehilangan konsep. Itu semua, disebabkan karena kesadaran mahasiswa akan suatu gerakan belum sepenuhnya terbuka, dan bahkan cenderung bersifat euforia. Hanya beberapa mahasiswa saja, yang benar-benar konsisten serta matang dalam menggagas gerakan pembaharuan menyuarakan aspirasi rakyat.
Kalau kita bandingkan mahasiswa sekarang dengan mahasiswa dahulu, sangatlah jauh berbeda. Dulu, mahasiswa dengan idealismenya dapat menjadi payung kepada masyarakat marhaen yang memerlukan pembelaan. Semangat juang yang digerakkan oleh pemimpin-pemimpin mahasiswa waktu itu, dengan setiap saat melakukan penyadaran terhadap rakyat, berhasil menghasilkan beberapa orang pemimpin ternama hari ini. Bandingkan hal tersebut dengan mahasiswa sekarang -yang mengalami degradasi- baik dari segi intelektualisme, idealisme, patriotisme, maupun semangat jati diri mereka. Mahasiswa sekarang, cenderung untuk berpikir pragmatis dalam menghadapi persoalan.
Kalaupun masih adanya persamaan dengan mahasiswa dahulu, itupun hanya sebagian dan sebagian kecil lainnya tidak lebih dari pemanfaatan gerakan saja. Alias pemecah persatuan dan kesatuan dengan tindakan anarkhisme negatif baik secara profokasi, tindakan langsung, maupun pemberitaan. Sehingga semakin menambah efek negatif dari gerakan yang sebetulnya bertujuan mulia. Akibatnya sedikit banyak mempengaruhi pola pikir, gaya hidup, dan lingkungan mahasiswa yang tadinya beraroma perjuangan menyeluruh menjadi perjuangan atas kepentingan pribadi. Dan ahirnya orang enggan dan antipati dengan gerakan mahasiswa yang hanya sebatas tontonan itu.
Ada dua persoalan yang mendasari analisis mengenai sebab-sebab hal tersebut, sehingga mahasiswa lebih bersikap hedonis. Pertama, pengaruh budaya barat yang tidak tersekat telah meracuni pemuda dan mahasiswa. Mereka dengan mudah meniru budaya asing tanpa menyadari resikonya, seperti berpesta pora, dan menghabiskan masa kepada perkara-perkara yang langsung tidak bermanfaat. Kedua, adanya pengaruh dari sistem pendidikan yang membentuk mentaliti mahasiswa. Ternyata, pola atau sistem yang digunakan oleh Orde Baru untuk melenyapkan idealisme serta daya kritis sangatlah ampuh dan efektif, yaitu dengan menerapkan sistem kapitalis dalam bidang ekonomi yang cenderung konsumtif. Di samping itu, sistem yang diterapkan dalam pendidikan, yang berteraskan lulus pemeriksaan membentuk pola pikir serta mentaliti mahasiswa, ternyata hanya menjadikan mereka sebagai kuli. Bahkan sampai dengan sekarang model seperti itu masih berlaku, hanya saja dengan gaya pembahasaan yang lebih relefan dan cenderung samar dari substansinya.
Mulai dari sekolah rendah, kita di ajar dengan ilmu yang bersifat dogma, serta sejarah yang dimanipulasi sedemikian rupa. Itu pun kita terima sebagai dogma. Dalam sistem pendidikan menengah pun, pada saat ini sama saja seperti itu. Sebab, kita diajari untuk mempelajari ilmunya dengan orientasi kerja. Jadi, kemerdekaan berfikir serta mempelajari ilmu serasa dibelenggu sistem yang membawanya pada orientasi tersebut. Dalam sistem pendidikan tinggi, seolah tak ada bedanya. Hanya saja konsepnya tidak dituntun oleh sistem namun lebih ke arah penjegalan, pelarangan, dan pembatasan-pembatasan ruang gerak mahasiswanya.
Sistem yang diterapkan dengan kaku dan diperburukkan dengan cost pendidikan yang tinggi membebani mahasiswa, mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap daya kritis mahasiswa serta idelismenya. Sebab, mahasiswa dituntut secara penuh berfikir mengenai hal-hal akademis semata-mata disamping tidak memikirkan soal-soal kerakyatan jika ingin terus menuntut ilmu di perguruan tinggi. Kondisi seperti itu, menjadikan kampus benar-benar menjadi suatu menara gading dan jauh dari jangkauan kalangan masyarakat kecil. Mahasiswa menjadi kelas yang elite dan sama sekali tidak tersentuh dengan persoalan kerakyatan.
Dari sistem seperti itu, terbentuklah mentaliti mahasiswa yang saat ini kita rasakan hedonis dan pragmatis, sebab kita dari awal dicetak untuk hidup yang serba praktis dan tidak mencoba berdialog dalam setiap pemikiran. Kita terjebak dengan hanya berdebat di bilik kuliah. Jarang sekali mahasiswa mencoba berfikir tentang persoalan kerakyatan, keagamaan, atau pun bagaimana konsep memajukan bangsa di era globalisasi ini. Mereka lebih suka diajak bersenang-senang untuk kepentingan pribadi yang bersifat sesaat, seperti kegiatan rekreatif (jika dibanding dengan kegiatan ilmiah).
Melihat fenomena tersebut, maka kita mempunyai kewajiban yang menjadi tuntutan untuk mengubah mentalitas yang hedonis dan pragmatis tersebut kembali kepada jati diri mahasiswa, yang mempunyai idealisme tinggi. Salah satu jalan alternatif untuk itu adalah dengan menghadapkan langsung mahasiswa pada persoalan-persoalan kerakyatan. Hal tersebut tentunya dilakukan melalui organisasi agar lebih terkontrol dan terlatih. Baik itu melalui organisasi intra kampus maupun ekstra kampus seperti PMII, HMI, IMM, KAMMI, atau organisasi ekstra lainnya.
Di samping itu, supaya berjalan seimbang, fungsi perguruan tinggi sebagai fungsi pengabdian masyarakat harus dilaksanakan tidak hanya terbatas pada simbol, tetapi benar-benar riil didalam aplikasinya. Hal itu, dimaksudkan untuk menolak pandangan kampus sebagai menara gading. Dengan begitu, idealisme serta daya kritis mahasiswa yang terasa hilang akan dapat dibangunkan kembali. Kesadaran sosial mahasiswa yang sebelumnya mengalami degradasi akan menjadi ideal kembali.
diajukan untuk Majalah OBSESI edisi 2011
Description: KESADARAN SOSIAL MAHASISWA; ANTARA TONTONAN DAN TUNTUTAN
Reviewer: Unknown
Rating: 4.0
ItemReviewed: KESADARAN SOSIAL MAHASISWA; ANTARA TONTONAN DAN TUNTUTAN
Reviewer: Unknown
Rating: 4.0
ItemReviewed: KESADARAN SOSIAL MAHASISWA; ANTARA TONTONAN DAN TUNTUTAN
Tidak ada komentar: