Oleh;
Mukhammad Aqil Muzakki
A.
Konstitusi
1.
Pengertian
Istilah kostitusi berasal dari bahasa Perancis
(constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan
ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.
Sedangkan istilah Undang-undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam
bahasa Belandanya Gronwet. Perkataan wet merupakan terjemahan ke dalam bahasa
Indonesia undang-undang, dan grond berarri tanah / dasar.[1]
Konstitusi dalam arti luas, yaitu keseluruhan peraturan
baik yang tertulis maupun yang tidak, yang mengatur secara singkat cara-cara
bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suat masyarakat. Demikian
pula pengertian konstitusi dalam ketatanegaraan di inggris, termasuk dalam
pengertian konstitusi yang luas, yaitu berupa peraturan-peraturan pokok
mengenai tata pemerintahan, baik berupa perundang-undangan, piagam-piagam
maupun putusan-putusan perlemen. Montesqureu memberikan arti konstitusi sebagai
tata cara bekerjanya parlemen di inggris, atau dengan kata lain, sampai dimana
hak-hak dan kewajiban perlemen dan bagaimana perlemen bekerja sesuai dengan
hak-hak dan kewajibannya tersebut.[2]
2.
Nilai Konstitusi
Karl Loewenstein
menyimpulkan ada tiga nilai dari konstitusi.
a.
Nilai Normatif
Suatu konstitusi yang telah dinyatakan secara resmi dalam
suatu negara, maka ia mempunyai kekuatan mengikat untuk ditaati dan
dilaksanakan. Maka konstitusi itu bukan hanya secara legal (yuridis-dalam arti
hukum) berlaku, tetapi juga berlaku dalam kenyataan baik secara
material,sosiologis maupun politis dengan kata lain konstitusi itu harus
berlaku sepenuhnya secara efektif (dalam
istilah populer dilaksanakan secara murni dan konsekuen). Apabila konstitusi
telah dapat dilaksanakan sesuai isi dan jiwanya baik dalam produk hukum maupun
dalam bentuk-bentuk kebujakan pemerintah maka berarti konstitusi itu telah
bernilai normatif.[3]
b.
Nilai Nominal
Konstitusi yang mempunyai nilai nominal berarti secara
hukum konstitusi itu berlaku, tetapi kenyataannya kurang semupurna. Sebab
pasal-pasal tertentu dari konstitusi tersebut dalam kenyataannya tidak berlaku.
c.
Nilai Semantik
Suatu konstitusi disebut mempunyai nilai semantik jika
konstitusi tersebut secara hukum tetap berlaku, namun dalam kenyataannya adalah
sekedar untuk memberikan bentuk dari tempat yang telah ada, dan dipergunakan
untuk melaksanakan kekuasaan politik. Jadi, konstitusi tersebut hanyalah
sekedar suatu istilah berlaku, sedangkan dalam pelakasanaannya hanyalah
dimaksudkan untuk kepentingan pihak penguasa. [4]
B.
Supremasi Konstitusi dalam Negara
Pada intinya kedudukan konstitusi dalam suatu negara bisa dipandang dari
dua aspek, yaitu aspek hukum dan aspek moral :
1.
Konstitusi dilihat dari aspek hukum mempunyai derjat tertinggi (supremasi).
Dasar pertimbangan supremasi konstitusi itu adalah karena beberapa hal :
a.
Konstitusi dibuat oleh Badan Pembuat Undang-undang atau lembaga-lembaga.
b.
Konstitusi dibentuk atas nama rakyat, berasal dari rakyat, kekuatan
berlakunya dijamin oleh rakyat, dan ia harus dilaksanakan langsung kepada
masyarakat untuk kepentingan mereka.
c.
Dilihat dari sudut hukum yang sempit yaitu dari proses pembuatannya,
konstitusi ditetapkan oleh lembaga atau badan yang diakui keabsahannya.
Superioritas konstitusi bukan hanya untuk rakyat / warga
tetapi juga bagi para penuasa dan bagi badan pembuat konstitusi itu sendiri.
2.
Jika konstitusi dilihat dari aspek moral landasan Fundamental, maka
konsitusi berada di bawahnya. Dengan kata lain, konstitusi tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai universal dari etika moral. Oleh karena itu
dilihat dari constitutional phyloshofi, apabila aturan konstitusi
bertentangan dengan etika moral, maka seharusnya konstitusi dikesampingkan.
William H. Seward mencontohkan bahwa konstitusi yang mengesahkan sudah
sewajarnya tidak diikuti.[5]
C.
Esensi Konstitusionalisme
Esensi
konstitusionalisme, minimal terdiri atas dua hal, yaitu :
1.
Konsepsi negara hukum yang menyatakan bahwa secara universal kewibawaan
hukum haruslah mengatasi kekuasaan pemerintah yang karenanya hukum harus mampu
mengontrol dan mengendalikan politik.
2.
Konsepsi hak-hak sipil warga negara yang menggaris adanya kebebasan warga negara
di bawah jaminan konstitusi sekaligus adanya pembatasan kekuasaan negara dasar
legitimasinya hanya dapat diperoleh oleh konstitusi.
Terkait dengan kedua ciri minimal itu maka beberapa hal
yang harus ditegaskan di dalam konstitusi adalah :
a.
Public authority hanya dapat dilegitimasi menurut ketentuan konstitusi.
b.
Pelakasanaan kedaulatan rakyat (melalui perwakilan) harus dilakukan dengan
menggunakan prinsip universal and equal suffrage dan pengangkatan eksekutif
harus melalui pemilihan yang demokratis.
c.
Pemisahan atau pembagian kekuasaan serta pembatasan wewenang.
d.
Adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri yang dapat menegakkan hukum dan
keadilan baik terhadap rakyat maupun terhadap penguasa.
e.
Adanya sistem kontrol terhadap militer dan kepolisian untuk menegakkan
hukum dan menggormati hak-hak rakyat.
f.
Adanya jaminan perlindungan atas
HAM.
g.
Supremasi hukum dalam arti memberi posisi sentral pada hukum sebagai
pedoman dan pengarah menurut hearkisnya dan menegakkannya tanpa pandang bulu.
h.
Jaminan atas rakyat untuk menikmati hak-haknya secara bebas berdasarkan
ketentuan hukum yang adil.
i.
Kebebasan pers untuk mengungkap dan mengekspresikan kehendak, kejadian dan
aspirasi yang berkembang di dalam masyarakat maupun aspirasi institusi pers itu
sendiri.
j.
Partisipasi masyarakat dalam setiap proses kenegaraan.[6]
D.
Sifat Konstitusi
Pada umumnya konstitusi yang berlaku dalam negara-negara
yang ada di dunia ini adalah konstitusi rigid. Negara-negara yang mempunyai
konstitusi yang bersifat fleksibel (dari perubahannya), tidak banyak penetapan
konstitusi yang tidak mudah (rigid) dengan maksud agar tidak mudah orang /
penguasa mengubah hukum dasarnya. Kalau memang perubahan itu sangat diperlukan,
maka perubahan itu haruslah benar-benar demi kepentingan rakyat, bangsa dan
negara.
Menurut K.C. Wheare ada empat sasaran yang hendak dituju
dalam usaha mempertahankan konstitusi dengan jalan mempersulit perubahannya.
Adapun empat sasaran itu tersebut ialah :
1.
Agar perubahan konstitusi dilakukan dengan petimbangan yang masak, tidak
secara sembarangan dan dengan sadar (dikehendaki).
2.
Agar rakyat mendapat kesempatan untuk menyampaikan pandangannya sebelum
perubahan dilakukan.
3.
Agar dan ini berlaku dalam negara serikat, kekuasaan negara serikat dam
kekuasaan negara-negara bagian tidak diubah semata-mata oleh
perbuatan-perbuatan masing-masing pihak secara tersendiri.
4.
Agar hak-hak perorangan atau kelompok seperti kelompok minoritas bahasa
atau kelompok minoritas agama atau kebudayaannya mendapat jaminan.[7]
Menurut Savornin Lohman ada tiga unsur yang terdapat
menyelinap dalam tubuh konstitusi-konstitusi sekarang, yaitu :
a.
Konstitusi dipandang sebagai perwujudan perjanjian masyarakat (kontrak
sosial) sehingga menurut pengertian ini, konstitusi-konstitusi yang ada adalah
hasil atau konklusi dari persepakatan masyarakat yang akan mengatur mereka.
b.
Konstitusi sebagai piagam yang menjamin hak-hak asasi manusia berarti
perlindungan dan jaminan atas hak-hak manusia dan warga negara yang sekaligus
penentuan batas-batas hak dan kewajiban baik warganya maupun alat-alat
pemerintahannya.
c.
Sebagai forma regimenis, berarti sebagai kerangka banguanan pemerintahan,
dengan kata lain sebagai gambaran struktur pemerintahan negara.[8]
E.
UUD 1945 dan Konstitusionalisme
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa UUD 1945 selalu
melahirkan pemerintahan yang otoriter dan korup. Jawaban singkat untuk
pertanyaan ini adalah karena UUD 1945 tidak memuat secara ketat materi-materi
yang secara subatantial harus ada pada setiap konstitusi yakni perlindungan HAM
dan pembatasan kekuasaan bagi penyelenggara negara. Secara lebih rinci jika
kajian atas isi UUD 1945 didekati dengan studi social legal dan kultural
tentang sejarah konstitusionalisme, HAM, dan demokrasi dapat tampak bahwa UUD
1945 memang tidak memenuhi syarat sebagai aturan main politik yang (seharusnya)
mewadahi konstitusionalisme .
Maka jelas bahwa gagasan konstitusinalisme bukan
merupakan fungsi resdiual kebebasan dan HAM yang diserahkan (sebagai sisa)
kepada negara dan pemerintah. Di dalam konstitusionalisme ditentukan bahwa
untuk melindungi HAM maka kekuasaan pemerintahan harus dibatasi dan dikontrol
secara baik jenis maupun waktunya agar tidak terjadi korup dan
kesewenang-weangan.[9]
F.
Konstitusi Republik Indonesia Serikat
Beberapa
hal yang perlu diketahui sehubungan dengan konstitusi RIS adalah :
1.
Undang-undang Dasar ini diberi secara resmi dengan istilah ”konstitusi
Indonesia Serikat” seperti terlihat dalam Lembaran Negara tahun 1950, no.3.
2.
Konstitusi RIS sifatnya adalah sementara. Sifat sementara konstitusi RIS
dapat dilihat dari ketentuan Pasal 186 yang menyatakan bahwa :
konstituante bersama-sama dengan pemerintahan selekas-lekasnya menetapkan
konstitusi republik indonesia serikat.
3.
Bentuk Negara Federal. Pernyataan bentuk federal ini tercantum dalam
mukadimah konstitusi RIS alinea III yang mengemukakan : ”Maka demi ini kami
menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam negara yang berbentuk Republik
Federasi,”...., dan dalam Pasal 1 ayat 1 dinyatakan : Republik Indonesi Serikat
yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan
berbentuk federasi.
4.
Sistem pemerintahan negaranya menganut sistem kabinet perlementer.[10]
Hukum konstitusi |
DAFTAR PUSTAKA
Thaib,
Dahlan, dkk. Teori Hukum dan Konstitusi,
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada)
1999.
Daman,
Rozikin, Hukum Tata Negara (Suatu
Pengantar) (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada) 1993.
Mahfud,
Moh, Demokrasi dan Konstitusi di
Indonesia, (Jakarta : PT Asdi Mahasatya) 2000.
Lubis Solly, Hukum
Tata Negara (Bandung : CV. Mandar Maju) 2008.
[1] Dahlan Thaib, dkk, Teori Hukum dan
Konstitusi (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada) 1999, hlm 6-7.
[2] Rozikin Daman, Hukum Tata Negara
(suatu pengantar), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada) 1993, hlm 88-89.
[4] Dahlan Thaib, dkk, Teori Hukum dan
Konstitusi (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada) 1999, hlm 41.
[6] Mohammad MD, Demokrasi dan
Konstitusi di Indonesia, (Jakarta : PT Asdi Mahastya) 2000, hlm 144-146.
[7] Rozikin Daman, Hukum Tata Negara
(suatu pengantar) (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada) 1993, hlm 108-109.
[9] Moh. Mahfud, MD, Demokrasi dan
Konstitusi di Indonesia (Jakarta : PT Asdi Mahastya) 2000 hlm 140-144.
Description: makalah KONSTITUSI
Reviewer: Unknown
Rating: 4.0
ItemReviewed: makalah KONSTITUSI
Reviewer: Unknown
Rating: 4.0
ItemReviewed: makalah KONSTITUSI
Tidak ada komentar: