Look up

Sabtu, 19 April 2014

Unknown 12.15.00 , , ,
Oleh: Mukhammad Aqil Muzakki

PENDAHULUAN
Ibnu Wahab
Islam sebagai sebuah bentuk keyakinan memiliki umat yang besar. Hampir diseluruh penjuru dunia terdapat umat islam. Hal ini disebabkan karena islam disebarkan dan masuk kedalam suatu masyarakat dengan cara yang damai dan santun sehingga banyak orang yang berminat masuk islam.

Akan tetapi, selain banyak orang senang dan bangga dengan islam, tidak sedikit pula orang yang menyerang islam, yang disebabkan karena perbedaan keyakinan terutama ketauhidan. Mereka yang tidak senang dengan islam selalu berusaha menjatuhkan islam, baik melalui buday, pola pikir, dsb. Untuk menghadapi hal ini, ulama-ulama dahulu membalasnya dengan memberikan argumen yang berisi alasan-alasan untuk mempertahankan keimanan mereka baik tentang keimanan kepada Tuhan, malaikat, dsb. Dan hal yang sering kita sebut sebagai ilmu kalam.

Ilmu kalam merupakan produk pikir manusia. Sesuai dengan berjalannya waktu, ilmu kalam pun semakin berkembang. Banyak ulama terjun didalamnya.

Untuk itu, makalah ini akan membahas salah satu ulama abad ke-8 yang turut mencurahkan pikirannya di dalam ilmu kalam, yaitu muhammad ibnu abdul wahhab. Hal-hal yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu bicara tentang biografi dan pemikiran kalam muhammad ibnu abdul wahhab.

PEMBAHASAN

A.    Biografi Muhammad Bin ʿAbd Al-Wahhāb
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M) adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi. Bin ʿAbd al-Wahhāb memiliki nama lengkap Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi.[1]

Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah seorang ulama yang berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni. Para pendukung pergerakan ini sesungguhnya menolak disebut Wahabbi, karena pada dasarnya ajaran Ibnu Wahhab menurut mereka adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajaran tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun yang berarti "satu Tuhan".[2]

B.     Pemikiran Kalam Muhammad Ibnu Abdul Wahab
Salah satu pelopor pembaruan dalam dunia Islam Arab adalah suatu aliran yang bernama Wahabiyah yang sangat berpengaruh di abad ke-19. Pelopornya adalah Muhammad Abdul Wahab (1703-1787 M). Pemikiran yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul Wahab adalah upaya memperbaiki kedudukan umat Islam terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam saat itu. Paham tauhid mereka telah bercampur dengan ajaran-ajaran tarikat yang sejak abad ke-13 tersebar luas di dunia Islam

Di setiap negara Islam yang dikunjunginya, Muhammad Abdul Wahab melihat makam-makam syekh tarikat. Setiap kota bahkan desa-desa mempunyai makam sekh atau walinya masing-masing. Umat Islam pergi ke makam-makam itu dan meminta pertolongan dari syekh atau wali yang dimakamkan disana untuk menyelesaikan masalah kehidupan mereka sehari-hari. Ada yang meminta diberi anak, jodoh, disembuhkan dari penyakit, dan ada pula yang minta diberi kekayaan. Syekh atau wali yang telah meninggal dunia itu dipandang sebagai orang yang berkuasa untuk meyelesaikan segala macam persoalan yang dihadapi manusia. Menurut paham Wahabiah, perbuatan ini termasuk syirik karena permohonan dan doa tidak lagi dipanjatkan kepada Allah SWT.

Masalah tauhid memang merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatiannya pada persoalan ini. Pokok-pokok pemikiran Muhammad Abdul Wahab yaitu:[3]
1.      Yang harus disembah hanyalah Allah SWT dan orang yang menyembah selain dari Nya telah dinyatakan sebagai musyrik
2.      Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan kepada Allah, melainkan kepada syekh, wali atau kekuatan gaib. Orang Islam yang berperilaku demikian juga dinyatakan musyrik
3.      Menyebut nama nabi, syekh atau malaikat sebagai pengantar dalam doa dikatakan sebagai syirik
4.      Meminta syafaat selain kepada Allah adalah perbuatan syrik
5.      Bernazar kepada selain Allah merupakan sirik
6.      Memperoleh pengetahuan selain dari Al Qur’an, hadis, dan qiyas merupakan kekufuran
7.      Tidak percaya kepada Qada dan Qadar Allah merupakan kekufuran
8.      Menafsirkan Al Qur’an dengan takwil atau interpretasi bebas termasuk kekufuran.
Untuk mengembalikan kemurnian tauhid tersebut, makam-makam yang banyak dikunjungi denngan tujuan mencari syafaat, keberuntungan dan lain-lain sehingga membawa kepada paham syirik, mereka usahakan untuk dihapuskan. Pemikiran-pemikiran Muhammad Abdul Wahab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaruan di abad ke-19 adalah sebagai berikut:[4]
1.      Hanya Al-Quran dan Hadis yang merupakan sumber asli ajaran Islam
2.      Taklid kepada ulama tidak dibenarkan
3.      Pintu ijtihad senantiasa terbuka dan tidak tertutup

Muhammad Abdul Wahab merupakan pemimpin yang aktif mewujudkan pemikirannya. Ia mendapat dukungan dari Muhammad Ibn Su’ud dan putranya Abdul Aziz di Nejed. Paham-paham Muhammad Abdul Wahab tersebar luas dan pengikutnya bertambah banyak sehingga di tahun 1773 M mereka dapat menjadi mayoritas di Ryadh. Di tahun 1787, beliau meninggal dunia tetapi ajaran-ajarannya tetap hidup dan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama Wahabiyah.

Selain itu, Ibnu Abdul Wahhab juga mendapat julukan rajul ad-da’wah (pejuang dakwah), bahkan dia termasuk orang terdepan dalam pasukan kerajaan yang daerahnya meluas sampai meliput timur Jazirah dan sebagian Yaman, Makkah, Madinah, dan Hijaz.

Pembaruan Ibnu Abdul Wahhab dan ijtihadnya lebih banyak berupa pemilihan yang masih dalam lingkup mazhab Hambali serta mengajak kepada nash dan ucapan para tokohnya-khususnya ucapan pendiri mazhab, Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H/780-855 M) dan Ibnu Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M) daripada kreasi pemikiran, penemuan, dan hal-hal baru. Ijtihadnya adalah pilihan dalam lingkup mazhab, mengajak kepada nash dan pendapat yang memurnikan akidah tauhid dari tanda-tanda kesyirikan, bid’ah, dan khurafat. [5]

Di samping itu, dari beberapa hal yang dikemukakannya di atas yang sangat diperhatikannya adalah masalah tauhid yang menjadi tiang agama; yang terkristalisasi dalam ungkapan la ilah illa Allah. Menurutnya, tauhid telah dirasuki berbagai hal yang hampir menyamai syirik, seperti mengunjungi para wali, mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa mereka mampu mendatangkan keuntungan atau kesusahan, mengunjungi kuburan mereka dikunjungi oleh orang dari berbagai penjuru dunia dan di usap-usap. Seakan-akan Allah sama dengan penguasa dunia yang dapat didekati melalui para tokoh mereka, dan orang-orang dekat-Nya. Bahkan manusia telah melakukan syirik apabila mereka percaya bahwa pohon kurma, pepohonan yang lain, sandal atau juru kunci makam dapat diambil berkahnya, dengan tujuan agar mereka dapat memperoleh keuntungan. Bagaimana menyelamatkan dari keyakinan-keyakinan seperti ini?

Menurutnya, Allah swt semata-mata Pembuat Syariat dan akidah. Allah-lah yang menghalalkan dan mengharamkan. Ucapan seseorang tidak dapat dijadikan hujah dalam agama, selain Kalamullah dan Rasulullah. Adapun pendapat para teolog tentang akidah serta pendapat para ahli fikih dalam masalah halal dan haram bukanlah hujah. Setiap orang yang telah memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad berhak melakukannya. Bahkan dia wajib melakukannya. Menutup pintu ijtihad merupakan sebuah bencana atas kaum muslim, karena hal itu dapat menghilangkan kepribadian dan kemampuan mereka untuk memahami dan menentukan hukum. Menutupi pintu ijtihad berarti membekukan pemikiran dan menjadikan umat hanya mengikuti pendapat atau fatwa yang tertera dalam buku-buku orang yang di ikutinya.

Itulah dasar dakwah Muhammad bin Abd al-Wahhab. Dia mengikuti ajaran Ibn Taimiyah. Atas dasar itu pula dibangunlah hal-hal yang  parsial. Menurutnya, manusia bebas berpikir tentang batas-batas yang telah ditetapkan oleh al-qur’an dan sunah. Dia memerangi segala macam bentuk bid’ah, dan mengarahkan orang agar beribadah dan berdo’a hanya untuk Allah, bukan untuk para wali, syeikh, atau kuburan. Menurutnya, kita harus kembali pada islam pada zaman awal, yang suci dan bersih. Dia berkeyakinan bahwa kelemahan kaum Muslim hari ini terletak pada akidah mereka yang tidak benar. Jika akidah mereka bersih seperti akidah para pendahulunya yang menjunjung tinggi kalimat la ilah illa Allah (yang berarti tidak menganggap hal-hal lain sebagai Tuhan selain Allah, tidak takut mati, atau tidak takut miskin dijalan yang benar), maka kaum Muslim pasti dapat meraih kembali kemuliaan dan kehormatan yang pernah diraih oleh para pendahulu mereka.[6]

PENUTUP
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M) adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi dan beliau adalah seorang ulama yang berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni.

Pemikiran yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul Wahab adalah upaya memperbaiki kedudukan umat Islam terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam saat itu. Paham tauhid mereka telah bercampur dengan ajaran-ajaran tarikat yang sejak abad ke-13 tersebar luas di dunia Islam. Masalah tauhid memang merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatiannya pada persoalan ini.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Amin, Husayn. 1995. Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
‘Imarah, Muhammad. 2007. 45 Tokoh Pengukir Sejarah. Surakarta: Era Intermedia.
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_bin_Abdul_Wahhab
http://www.indoforum.org/t79608/




[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_bin_Abdul_Wahhab
[2] http://www.indoforum.org/t79608/
[4] Ibid.
[5] Muhammad ‘Imarah, 45 Tokoh Pengukir Sejarah, ,( Surakarta: Era Intermedia, 2007), Hlm. 173-174.
[6]Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995), Hlm.269-270.

Description: makalah PEMIKIRAN KALAM MUHAMMAD BIN ʿABD AL-WAHHĀB
Reviewer: Unknown
Rating: 4.0
ItemReviewed: makalah PEMIKIRAN KALAM MUHAMMAD BIN ʿABD AL-WAHHĀB

Tidak ada komentar:

Apakah blog ini membantu?

Networking Area