Look up

Sabtu, 19 April 2014

Unknown 11.39.00 , , , ,
Oleh: Mukhammad Aqil Muzakki

A.    Pengertian

1.      Etimologis:
Mazhab merupakan mas}dar (mi>mi>) dari kata dhahaba yadhhabu dhiha>ban wa madhhaban yang memiliki banyak arti:
Dhahaba ila>: ~ pergi, bepergian, minggat, meninggalkan, berangkat
~ hilang, runtuh, bahaya, meninggal, dihancurkan
~ berpikir, meyakini, berpandangan, berpendapat.
Dhahaba ‘an: ~ melarikan diri
 ~ melupakan, mengabaikan, menghapuskan
 ~ mempersiapkan.
Dhahaba madhhabahu ila>: menganut mazhab seseorang, mengikuti ajaran seseorang, membuat seseorang yakin terhadap milik orang lain, menganut ide/pemikiran seseorang.
Tamadhhaba bi: mengikuti, mengadopsi, menganut (sauatu ajaran, agama, dan yang semacamnya).
Madhhab pl. madha>hib:
~ kepergian, keberangkatan
~ cara yang diikuti, mengadopsi prosedur atau kebijakan
~ pendapat, pandangan, keyakinan, ideologi, ajaran, doktrin
~ gerakan, orientasi, kecenderungan (tren)
~ aliran, mazhab, kredo keagamaan, keyakinan.
Madhhabiyah: sektarianisme.
[Hans-Wehr, 1980: 313].
Dengan demikian mazhab dalam konteks kajian ini dapat dipahami sebagai: (i) aliran, (ii) paham, (iii) sekte, (iv) cara yang diikuti, (v) pandangan dalam agama; di mana aliran dan yang semacamnya ini banyak diikuti.
Adapun pengertian kata fikih dapat dibaca pada buku-buku pengantar fikih.
2.      Terminologis:
Mazhab fikih adalah aliran dalam hukum keagamaan (Islam). [Schacht, 1971: 300]. Dengan demikian mazhab fikih dapat dipahami sebagai aliran, paham, ataupun sekte dalam Islam yang berkenaan dengan hukum (fikih).

B.     Sejarah Terbentuknya

Sebagai suatu bentuk pemahaman terhadap ajaran agama, kemunculan dan terbentuknya mazhab fikih dalam sejarah merupakan sesuatu yang wajar dan natural. Oleh karena dunia keagamaan merupakan dunia pemahaman dan interpretasi, sementara potensi setiap orang yang melakukan interpretasi dan pemahaman tersebut tidak sama --- ditambah lagi adanya faktor-faktor eksternal (seperti sosial, kultural, dan geografis) yang juga berpengaruh ---- maka munculnya perbedaan-perbedaan dalam memahami ajaran Tuhan tersebut tidak mungkin dihindarkan. Perbedaan pemahaman dan interpretasi pada mulanya hanya bersifat personal dan insidental. Namun melalui proses sosialisasi yang bersifat massif, baik dalam bentuk pengajaran, publikasi tulisan, ataupun yang lainnya, maka suatu paham tertentu menjadi banyak penganutnya. Kemudian melalui transfer keilmuan yang terjadi dari satu generasi ke generasi berikutnya, secara sadar ataupun tidak telah membuat suatu jaringan komunitas sosial yang memiliki corak pemahaman yang sama. Corak pemahaman mereka ini tentu saja dinisbahkan kepada seorang tokoh yang merupakan penggagas awal dari paham tersebut. Dengan demikian terbentuklah kemudian mazhab-mazhab dalam agama di mana dalam konteks hukum Islam ia disebut sebagai mazhab fikih.
Secara umum proses alami terbentuknya mazhab fikih dapat digambarkan sebagai berikut:
Proses Terbentuknya Mazhab Fikh

Untuk mengetahui sejarah kemunculan dan terbentuknya mazhab fikih, kita bisa mengetahui dari periodisasi pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam melalui ta>ri>kh al-tashri>’ al-isla>mi>  sebagai berikut:
þ  Perode I: Hukum Islam pada masa Nabi saw (sampai dengan 10 H).
ü  Qur`an dan Sunnah sebagai sumber utama.
ü  Ijtihad secara terbatas dilakukan oleh sahabat untuk kemudian dimintakan justifikasinya kepada Nabi.
ü  Naskh sebagai bentuk pentahapan penerapan aturan hukum (al-tadarruj fi al-tashri’).
ü  Ikhtila>f juga ada tetapi hanya bersifat insidental di mana Nabi tetap merupakan kata pemutusnya.
þ  Pereode II: Hukum Islam pada masa Khulafa>` Ra>shidu>n (11 H-40 H).
ü  Standarisasi teks Qur`an.
ü  Sumber utama hukum Islam adalah Qur`an, Sunnah, dan Ijtihad.
ü  Hukum masih bersifat praktis.
ü  Muncul kaum Syi’ah dan Khawwarij.
Pada pereode inilah ijma’ dan ikhtila>f mulai mewarnai hukum Islam. Perbedaan yang terjadi di antara mereka dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: (i) perbedaan interpretasi terhadap sejumlah ayat dalam Qur`an, (ii) perbedaan dalam penggunaan sunnah sebagai sumber rujukan, dan (iii) perbedaan dalam hasil ijtihad.
þ  Pereode III: Hukum Islam pada masa Umayyah.
ü  Pereode ini merupakan pereode para ‘sahabat kecil’ (Ibn ‘Abbas, Ibn ‘umar, ‘Aisyah, dan sebagainya) dan ‘tabi’in besar’.
ü  Pada masa ini muncul polarisasi orientasi pemikiran hukum yakni antara kubu tradisionalis (ahl al-h}adi>th) di Madinah, dengan tokohnya Sa’i>d ibn al-Musayyib, dan kubu rasionalis (ahl al-ra`y) di Kufah dengan tokohnya Ibra>hi>m al-Nakha’i>. Kedua kubu ini oleh sebagian ahli hukum Islam disebut dengan ‘mazhab fikih kuno’ (the ancient schools of juriprudence). Kubu tradionalis mendasarkan ajarannya pada Ibn ‘Abbas, Ibn ‘Umar, dan ‘Aisyah; sementara kubu rasionalis mendasarkannya pada Ibn Mas’u>d, ‘Ali> ibn Abi> T{a>lib, dan Shurayh}.
ü  Harus dicatat di sini bahwa masing-masing fukaha pada masa ini merupakan fakih yang independen.
þ  Pereode IV: Hukum Islam pada masa para Imam Besar, munculnya mazhab hukum, dan diikuti masa taklid.
ü  Imam-imam mazhab yang muncul pada pereode ini:
§  Abu Hanifah (80-150 H) dan Malik ibn Anas (93-179 H). Keduanya merupakan generasi ta>bi’ al-ta>bi’i>n. Sumber hukum yang utama adalah Qur`an, Sunnah, pendapat sahabat (terutama ijma’ di antara mereka dan hukum yang diadopsi oleh khalifah yang empat), dan ijtihad. Malik lebih banyak mendasarkan pada pendapat sahabat daripada Abu Hanifah.
§  Layth ibn Sa’d (w. 175 H), fukaha besar dari Mesir, Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shaybani> (sahabat dan sekaligus murid Abu Hanifah), Muh}ammad ibn Idri>s al-Sha>fi’i> (150-204 H), dan Ahmad ibn Hanbal (164-241).
§  Imam-imam yang juga besar perannya dalam pemikiran hukum Islam, antara lain: Ibn Shubrumah (w. 144 H) dan Sufyan al-Thawri> (w. 161 H) dari Kufah, H{ammad ibn Zayd (w. 179 H) dari Basrah, Awza’i> (w. 157 H) dari Damaskus, T{abari> (w. 310 H), Da>wud ibn ‘Ali> (202-270 H). Di samping itu terdapat juga imam-imam mazhab dalam lingkungan Syi’ah, seperti Zayd ibn ‘Ali> (80-122H), imam mazhab Zaydiyah, dan Ja’far al-S{a>diq (80-148 H), imam mazhab Ja’fariyah.
ü  Pada pereode inilah ilmu usul fikih mulai menemukan bentuknya, yakni dengan disusunnya kitab al-Risa>lah oleh al-Sha>fi’i>. Di dalamnya ia menekankan pentingnya Qur`an, sunnah s}ah}i>h}ah, ijma’ seluruh ulama, dan qiyas sebagai sumber utama hukum Islam. Pada saat yang sama ia mengesampingkan istih}sa>n, ijma’ sebagian ulama lokal, riwayat yang tidak s}ah}i>h} dan praktek masyarakat Madinah.
ü  Ahmad in Hanbal merupakan tokoh tradisionalis yang terkemuka. Tokoh lainnya antara lain: Ish}a>q ibn Ra>hawayh, dan Yah}ya> ibn Sa’i>d. Mereka mendasarkan hampir seluruh pendapat hukumnya kepada Qur`an, Sunnah (yang bagaimanapun nilainya, asal bukan mawd}u>), pendapat sahabat dan tabi’in tanpa membedakan domisili maupun bagaimana ijtihadnya.
ü  Masa pasca imam-imam besar (abad III H) aktivitas pemikiran hukum mulai bercorak taklid, hanya saja bentuknya tidak separah pada masa-masa sesudahnya. Menurut al-Dahlawi, dengan mengutip Abu Talib al-Makki, taklid dengan cara memberikan pendapat hukum menurut pendapat seorang tokoh dan kemudian mengafiliasikan diri di dalamnya serta mengajarkan kepada orang lain menurut apa yang dikatakan oleh sang tokoh tidaklah dikenal pada abad pertama dan kedua. Hanya saja selama abad ketiga taklid yang terjadi bukan sepenuhnya taklid di mana para fukaha kendati berijtihad juga namun mereka dibatasi oleh prinsip-prinsip umum dalam mazhab mereka masing-masing.
ü  Jumlah pasti dari mazhab hukum yang pernah ada dalam sejarah peradaban muslim tidak bisa diketahui sepenuhnya. Menurut Muhammad ibn ‘Ali al-Sanusi, misalnya, mazhab Awza’i> merupakan mazhab yang dominan di Spanyol sebelum mazhab Maliki sampai di sana pada akhir abad III H. Ia juga menyatakan bahwa di Madinah al-sala>m (Bagdad) pernah ada enam belas mazhab hukum yang masing-masing memiliki penganut dan kitab serta tokoh-tokohnya hingga Tartar menginvasi pada tahun 656 H.
ü  Jadi, mazhab-mazhab hukum yang terkenal muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah kemudian terus tumbuh dan berkembang pada masa-masa sesudah meninggalnya para imam mazhab tersebut. Banyak di antara imam-imam mazhab tersebut yang muncul pada masa yang bersamaan yang kemudian diikuti pula dengan kemunculan mazhab-mazhab hukum yang menarik banyak pengikut dan terus eksis selama berabad-abad setelah itu.
ü  Masa sesudah abad III H: taklid secara bertahap semakin memantapkan pengaruhnya dan mazhab hukumpun kemudian menjadi institusi yang mapan. Kebutuhan akan keseragaman putusan hukum dan keinginan Khalifah untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan merupakan sebagian alasan yang mendorong penguasa untuk memilih hakim-hakimnya dari penganut mazhab hukum yang populer di kawasan tertentu. Praktis lembaga peradilan dibatasi hanya pada empat mazhab. Hal ini tentu saja membawa pada pengadopsian single-state-school system dan sistem hukum di berbagai kawasan dunia Islam dibatasi hanya pada salah satu atau lebih dari empat mazhab tersebut.
þ  Pereode V: hukum Islam pada masa stagnasi (jumu>d) dan munculnya gerakan pembaruan yang bersifat individual.
ü  Ini merupakan pereode taklid yang sesungguhnya (blind imitation) dan stagnasi dalam pemikiran hukum Islam, yakni masa antara abad VII-XIII H. Para fukaha pada masa ini menjadi sangat terikat tidak hanya kepada pendapat para imam mazhab namun juga kepada pandangan dan penyimpulan dari para sahabat sang imam dan fukaha lainnya dari generasi sebelumnya. Apa yang mereka lakukan hanyalah menafsirkan, menyimpulkan, dan mengatasi perbedaan pendapat yang terjadi dalam internal mazhab mereka masing-masing.
ü  Kendati perode ini secara umum bercorak ‘taklid buta’, namun ada juga sedikit fukaha, pada masa dan tempat yang berbeda, yang secara terbuka menentang mainstream taklid tersebut. Mereka menyerukan kebebasan dalam berpikir dan penetapan hukum sebagaimana dipraktekkan oleh para sahabat, tabi’in, dan para imam mazhab itu sendiri, di mana mereka ini menyatakan bahwa taklid merupakan bid’ah (innovation) yang bertentangan, tidak hanya dengan Qur`an dan Sunnah, tetapi juga ijma’ sahabat dan para fukaha awal (termasuk para imam mazhab sendiri). Di antara mereka ini adalah ‘Izz al-Di>n ibn ‘Abd al-Sala>m, Ibn Taymiyyah, dan Ibn al-Qayyim pada abad VII dan VIII H; dan Wali> Alla>h al-Dah}lawi> (w. 1176 H) di India, al-S{an’a>ni> (w. 1182) di Yaman, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahha>b (w. 1206 H) di Madinah, al-Shawka>ni> (w. 1255 H) di Yaman, Sanusi (w. 1276 H), dan Shehu ‘Usman ibn Fodio bersama Muhammad Ahmad al-Mahdi di Sudan pada abad XII dan XIII H.
þ  Pereode VI: Hukum Islam pada masa moderen.
Setidaknya ada tiga hal penting yang mewarnai perkembangan hukum Islam pada masa moderen:
ü  Semakin berkurangnya keterikatan pada satu mazhab tertentu.
§  Kajian hukum umunya dilakukan secara komparatif antara berbagai mazhab.
§  Banyak negara Islam yang telah meninggalkan konsep ‘mazhab negara’.
§  Pemikiran bahwa hakim mesti mengikuti mazhab yang dominan tidak lagi diterapkan, digantikan oleh pertimbangan mengenai pendapat hukum mana yang paling reasonable, tanpa memandang apakah ia sesuai dengan mazhab yang dominan di suatu kawasan atau tidak.
ü  Kodifikasi
§  Al-Majalla>t (hukum sipil Usmani) yang diundangkan pada abad XIX M umumnya dipandang sebagai undang-undang sipil pertama dalam sejarah hukum Islam.
§  Semenjak hukum Islam di banyak negara Islam berada di bawah tekanan dan pengaruh Kolonialis Barat, hingga yang tersisa hanya hukum keluarga saja, proses kodifikasi secara umum menjadi terbatas pada wilayah hukum keluarga tersebut dan tidak banyak perhatian yang diberikan pada aspek-aspek lainnya.
ü  Penelitian
Penelitian diarahkan pada pencarian terhadap teori-teori hukum secara umum dan pengkajian ulang terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang dihasilkan oleh para fukaha terdahulu. Dalam hal ini hukum Islam biasanya dibandingkan dengan satu atau lebih sistem hukum lain. Dari kajian-kajian tersebut tidak jarang diperoleh kesimpulan bahwa beberapa kitab fikih kuno kurang memadai dan komprehensif bagi kehidupan moderen, sehingga diperlukan penyusunan buku baru untuk menggantikan yang lama sebagai text book.
Muhammad ‘Abduh dan Jamal al-Din al-Afghani biasanya dipandang sebagai perintis dari kecenderungan ‘liberal’ tersebut. Namun harus diingat bahwa gerakan pembaruan pada abad XII dan XIII H sebagaimana telah disebutkan di atas juga berperan penting dalam membebaskan masyarakat dari kepatuhan yang berlebihan kepada mazhab hukum tertentu.
ü  Dari periodisasi tashri>Islam tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
§  Mazhab hukum terbentuk secara alami, dimulai pada abad II H dan menemukan bentuknya yang mapan pada abad III H dan seterusnya. Ketika sebuah formulasi pemikiran ditawarkan dan ternyata banyak yang tertarik untuk mengikutinya kemudian secara luas disosialisikan dari generasi ke generasi, maka terbentuklah sebuah mazhab pemikiran hukum.
§  Oleh karena pereode setelah abad II H pemikiran hukum Islam didominasi oleh corak taklid, maka dua abad pertama disebut sebagai masa pembentukan (Formative Period) sementara pasca abad II H disebut sebagai masa pembakuan (post-formative period) di mana oleh sebagian ahli masa tersebut dipandang sebagai awal mula pembentukan ortodoksi Islam.
§  Kajian terhadap masa pembentukan sangat penting dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang ajaran Islam yang sesungguhnya terutama ketika dikaitkan dengan kehidupan masyarakat moderen yang senantisa berubah. Adapun pemikiran hukum Islam saat ini yang umumnya masih merupakan warisan zaman klasik, merupakan pemikiran hukum yang berasal dari masa pembakuan yang sulit untuk menghadapi perubahan demi perubahan dalam kehidupan moderen yang dinamis.

[Sumber: A. M. Haj Nour, “The Schools of Law: Their Emergence and Validity Today”, Journal of Islamic and Comparative Law, 7 (1977), p. 54-69]
Description: makalah Perbandingan Madzhab; Madzhab Fikh
Reviewer: Unknown
Rating: 4.0
ItemReviewed: makalah Perbandingan Madzhab; Madzhab Fikh

Tidak ada komentar:

Apakah blog ini membantu?

Networking Area