Oleh: Mukhammad Aqil Muzakki
PENDAHULUAN
Ibnu Wahab |
Islam sebagai sebuah bentuk
keyakinan memiliki umat yang besar. Hampir diseluruh penjuru dunia terdapat
umat islam. Hal ini disebabkan karena islam disebarkan dan masuk kedalam suatu
masyarakat dengan cara yang damai dan santun sehingga banyak orang yang
berminat masuk islam.
Akan tetapi, selain banyak
orang senang dan bangga dengan islam, tidak sedikit pula orang yang menyerang
islam, yang disebabkan karena perbedaan keyakinan terutama ketauhidan. Mereka
yang tidak senang dengan islam selalu berusaha menjatuhkan islam, baik melalui
buday, pola pikir, dsb. Untuk menghadapi hal ini, ulama-ulama dahulu
membalasnya dengan memberikan argumen yang berisi alasan-alasan untuk
mempertahankan keimanan mereka baik tentang keimanan kepada Tuhan, malaikat,
dsb. Dan hal yang sering kita sebut sebagai ilmu kalam.
Ilmu kalam merupakan produk
pikir manusia. Sesuai dengan berjalannya waktu, ilmu kalam pun semakin
berkembang. Banyak ulama terjun didalamnya.
Untuk itu, makalah ini akan
membahas salah satu ulama abad ke-8 yang turut mencurahkan pikirannya di dalam
ilmu kalam, yaitu muhammad ibnu abdul wahhab. Hal-hal yang akan dibahas dalam
makalah ini yaitu bicara tentang biografi dan pemikiran kalam muhammad ibnu
abdul wahhab.
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Muhammad Bin ʿAbd Al-Wahhāb
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 - 1206 H/1701 -
1793 M) adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh
pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah yang
kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi. Bin ʿAbd al-Wahhāb
memiliki nama lengkap Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin
Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi
al-Hambali an-Najdi.[1]
Muhammad bin ʿAbd
al-Wahhāb, adalah seorang ulama yang berusaha membangkitkan kembali pergerakan
perjuangan Islam secara murni. Para pendukung pergerakan ini sesungguhnya
menolak disebut Wahabbi, karena pada dasarnya ajaran Ibnu Wahhab menurut
mereka adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajaran tersendiri. Karenanya mereka
lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun yang
berarti "satu Tuhan".[2]
B. Pemikiran Kalam Muhammad Ibnu Abdul Wahab
Salah satu pelopor
pembaruan dalam dunia Islam Arab adalah suatu aliran yang bernama Wahabiyah
yang sangat berpengaruh di abad ke-19. Pelopornya adalah Muhammad Abdul Wahab
(1703-1787 M). Pemikiran yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul Wahab adalah
upaya memperbaiki kedudukan umat Islam terhadap paham tauhid yang terdapat di
kalangan umat Islam saat itu. Paham tauhid mereka telah bercampur dengan ajaran-ajaran
tarikat yang sejak abad ke-13 tersebar luas di dunia Islam
Di setiap negara Islam
yang dikunjunginya, Muhammad Abdul Wahab melihat makam-makam syekh tarikat.
Setiap kota bahkan desa-desa mempunyai makam sekh atau walinya masing-masing. Umat
Islam pergi ke makam-makam itu dan meminta pertolongan dari syekh atau wali
yang dimakamkan disana untuk menyelesaikan masalah kehidupan mereka
sehari-hari. Ada yang meminta diberi anak, jodoh, disembuhkan dari penyakit,
dan ada pula yang minta diberi kekayaan. Syekh atau wali yang telah meninggal
dunia itu dipandang sebagai orang yang berkuasa untuk meyelesaikan segala macam
persoalan yang dihadapi manusia. Menurut paham Wahabiah, perbuatan ini termasuk
syirik karena permohonan dan doa tidak lagi dipanjatkan kepada Allah SWT.
Masalah tauhid memang
merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan
apabila Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatiannya pada persoalan ini. Pokok-pokok
pemikiran Muhammad Abdul Wahab yaitu:[3]
1.
Yang harus
disembah hanyalah Allah SWT dan orang yang menyembah selain dari Nya telah
dinyatakan sebagai musyrik
2.
Kebanyakan
orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya karena mereka
meminta pertolongan bukan kepada Allah, melainkan kepada syekh, wali atau
kekuatan gaib. Orang Islam yang berperilaku demikian juga dinyatakan musyrik
3.
Menyebut nama
nabi, syekh atau malaikat sebagai pengantar dalam doa dikatakan sebagai syirik
4.
Meminta syafaat
selain kepada Allah adalah perbuatan syrik
5.
Bernazar
kepada selain Allah merupakan sirik
6.
Memperoleh
pengetahuan selain dari Al Qur’an, hadis, dan qiyas merupakan kekufuran
7.
Tidak percaya
kepada Qada dan Qadar Allah merupakan kekufuran
8.
Menafsirkan
Al Qur’an dengan takwil atau interpretasi bebas termasuk kekufuran.
Untuk mengembalikan
kemurnian tauhid tersebut, makam-makam yang banyak dikunjungi denngan tujuan
mencari syafaat, keberuntungan dan lain-lain sehingga membawa kepada paham
syirik, mereka usahakan untuk dihapuskan. Pemikiran-pemikiran Muhammad Abdul
Wahab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaruan di abad
ke-19 adalah sebagai berikut:[4]
1.
Hanya
Al-Quran dan Hadis yang merupakan sumber asli ajaran Islam
2.
Taklid kepada
ulama tidak dibenarkan
3.
Pintu ijtihad
senantiasa terbuka dan tidak tertutup
Muhammad Abdul Wahab
merupakan pemimpin yang aktif mewujudkan pemikirannya. Ia mendapat dukungan
dari Muhammad Ibn Su’ud dan putranya Abdul Aziz di Nejed. Paham-paham Muhammad
Abdul Wahab tersebar luas dan pengikutnya bertambah banyak sehingga di tahun
1773 M mereka dapat menjadi mayoritas di Ryadh. Di tahun 1787, beliau meninggal
dunia tetapi ajaran-ajarannya tetap hidup dan mengambil bentuk aliran yang
dikenal dengan nama Wahabiyah.
Selain itu, Ibnu Abdul
Wahhab juga mendapat julukan rajul
ad-da’wah (pejuang dakwah), bahkan dia termasuk orang terdepan dalam
pasukan kerajaan yang daerahnya meluas sampai meliput timur Jazirah dan
sebagian Yaman, Makkah, Madinah, dan Hijaz.
Pembaruan Ibnu Abdul
Wahhab dan ijtihadnya lebih banyak berupa pemilihan yang masih dalam lingkup
mazhab Hambali serta mengajak kepada nash dan ucapan para tokohnya-khususnya
ucapan pendiri mazhab, Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H/780-855 M) dan Ibnu
Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M) daripada kreasi pemikiran, penemuan, dan
hal-hal baru. Ijtihadnya adalah pilihan dalam lingkup mazhab, mengajak kepada
nash dan pendapat yang memurnikan akidah tauhid dari tanda-tanda kesyirikan,
bid’ah, dan khurafat. [5]
Di samping itu, dari
beberapa hal yang dikemukakannya di atas yang sangat diperhatikannya adalah
masalah tauhid yang menjadi tiang agama; yang terkristalisasi dalam ungkapan la ilah illa Allah. Menurutnya, tauhid
telah dirasuki berbagai hal yang hampir menyamai syirik, seperti mengunjungi
para wali, mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa mereka mampu mendatangkan
keuntungan atau kesusahan, mengunjungi kuburan mereka dikunjungi oleh orang
dari berbagai penjuru dunia dan di usap-usap. Seakan-akan Allah sama dengan
penguasa dunia yang dapat didekati melalui para tokoh mereka, dan orang-orang
dekat-Nya. Bahkan manusia telah melakukan syirik apabila mereka percaya bahwa
pohon kurma, pepohonan yang lain, sandal atau juru kunci makam dapat diambil
berkahnya, dengan tujuan agar mereka dapat memperoleh keuntungan. Bagaimana
menyelamatkan dari keyakinan-keyakinan seperti ini?
Menurutnya, Allah swt
semata-mata Pembuat Syariat dan akidah. Allah-lah yang menghalalkan dan
mengharamkan. Ucapan seseorang tidak dapat dijadikan hujah dalam agama, selain
Kalamullah dan Rasulullah. Adapun pendapat para teolog tentang akidah serta
pendapat para ahli fikih dalam masalah halal dan haram bukanlah hujah. Setiap
orang yang telah memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad berhak melakukannya.
Bahkan dia wajib melakukannya. Menutup pintu ijtihad merupakan sebuah bencana
atas kaum muslim, karena hal itu dapat menghilangkan kepribadian dan kemampuan
mereka untuk memahami dan menentukan hukum. Menutupi pintu ijtihad berarti
membekukan pemikiran dan menjadikan umat hanya mengikuti pendapat atau fatwa
yang tertera dalam buku-buku orang yang di ikutinya.
Itulah dasar dakwah
Muhammad bin Abd al-Wahhab. Dia mengikuti ajaran Ibn Taimiyah. Atas dasar itu
pula dibangunlah hal-hal yang parsial.
Menurutnya, manusia bebas berpikir tentang batas-batas yang telah ditetapkan
oleh al-qur’an dan sunah. Dia memerangi segala macam bentuk bid’ah, dan
mengarahkan orang agar beribadah dan berdo’a hanya untuk Allah, bukan untuk
para wali, syeikh, atau kuburan. Menurutnya, kita harus kembali pada islam pada
zaman awal, yang suci dan bersih. Dia berkeyakinan bahwa kelemahan kaum Muslim
hari ini terletak pada akidah mereka yang tidak benar. Jika akidah mereka
bersih seperti akidah para pendahulunya yang menjunjung tinggi kalimat la ilah illa Allah (yang berarti tidak
menganggap hal-hal lain sebagai Tuhan selain Allah, tidak takut mati, atau
tidak takut miskin dijalan yang benar), maka kaum Muslim pasti dapat meraih
kembali kemuliaan dan kehormatan yang pernah diraih oleh para pendahulu mereka.[6]
PENUTUP
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 - 1206 H/1701 -
1793 M) adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh
pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah yang
kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi dan beliau adalah seorang
ulama yang berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara
murni.
Pemikiran yang dikemukakan
oleh Muhammad Abdul Wahab adalah upaya memperbaiki kedudukan umat Islam
terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam saat itu. Paham
tauhid mereka telah bercampur dengan ajaran-ajaran tarikat yang sejak abad
ke-13 tersebar luas di dunia Islam. Masalah tauhid memang merupakan ajaran yang
paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Muhammad
Abdul Wahab memusatkan perhatiannya pada persoalan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Amin,
Husayn. 1995. Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
‘Imarah, Muhammad.
2007. 45 Tokoh
Pengukir Sejarah. Surakarta: Era Intermedia.
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_bin_Abdul_Wahhab
http://www.indoforum.org/t79608/
Description: makalah PEMIKIRAN KALAM MUHAMMAD BIN ʿABD AL-WAHHĀB
Reviewer: Unknown
Rating: 4.0
ItemReviewed: makalah PEMIKIRAN KALAM MUHAMMAD BIN ʿABD AL-WAHHĀB
Reviewer: Unknown
Rating: 4.0
ItemReviewed: makalah PEMIKIRAN KALAM MUHAMMAD BIN ʿABD AL-WAHHĀB
Tidak ada komentar: