Oleh: Mukhammad Aqil Muzakki
A. Pengertian
1. Etimologis:
Mazhab merupakan mas}dar
(mi>mi>)
dari kata dhahaba yadhhabu dhiha>ban wa madhhaban yang memiliki banyak arti:
Dhahaba
ila>: ~ pergi, bepergian, minggat,
meninggalkan, berangkat
~ hilang, runtuh, bahaya, meninggal, dihancurkan
~ berpikir, meyakini, berpandangan, berpendapat.
Dhahaba
‘an: ~ melarikan diri
~
melupakan, mengabaikan, menghapuskan
~
mempersiapkan.
Dhahaba
madhhabahu ila>:
menganut mazhab seseorang, mengikuti ajaran seseorang, membuat seseorang yakin
terhadap milik orang lain, menganut ide/pemikiran seseorang.
Tamadhhaba
bi: mengikuti,
mengadopsi, menganut (sauatu ajaran, agama, dan yang semacamnya).
Madhhab pl. madha>hib:
~ kepergian, keberangkatan
~ cara yang diikuti, mengadopsi prosedur atau
kebijakan
~ pendapat, pandangan, keyakinan, ideologi,
ajaran, doktrin
~ gerakan, orientasi, kecenderungan (tren)
~ aliran, mazhab, kredo keagamaan, keyakinan.
Madhhabiyah: sektarianisme.
[Hans-Wehr, 1980: 313].
Dengan demikian mazhab dalam konteks kajian ini
dapat dipahami sebagai: (i) aliran, (ii) paham, (iii) sekte, (iv) cara yang
diikuti, (v) pandangan dalam agama; di mana aliran dan yang semacamnya ini
banyak diikuti.
Adapun pengertian kata fikih dapat dibaca pada
buku-buku pengantar fikih.
2. Terminologis:
Mazhab fikih adalah aliran dalam hukum keagamaan
(Islam). [Schacht, 1971: 300]. Dengan
demikian mazhab fikih dapat dipahami sebagai aliran, paham, ataupun sekte dalam
Islam yang berkenaan dengan hukum (fikih).
B. Sejarah Terbentuknya
Sebagai suatu
bentuk pemahaman terhadap ajaran agama, kemunculan dan terbentuknya mazhab
fikih dalam sejarah merupakan sesuatu yang wajar dan natural. Oleh karena dunia
keagamaan merupakan dunia pemahaman dan interpretasi, sementara potensi setiap
orang yang melakukan interpretasi dan pemahaman tersebut tidak sama ---
ditambah lagi adanya faktor-faktor eksternal (seperti sosial, kultural, dan
geografis) yang juga berpengaruh ---- maka munculnya perbedaan-perbedaan dalam
memahami ajaran Tuhan tersebut tidak mungkin dihindarkan. Perbedaan pemahaman
dan interpretasi pada mulanya hanya bersifat personal dan insidental. Namun
melalui proses sosialisasi yang bersifat massif, baik dalam bentuk pengajaran,
publikasi tulisan, ataupun yang lainnya, maka suatu paham tertentu menjadi
banyak penganutnya. Kemudian melalui transfer keilmuan yang terjadi dari satu
generasi ke generasi berikutnya, secara sadar ataupun tidak telah membuat suatu
jaringan komunitas sosial yang memiliki corak pemahaman yang sama. Corak
pemahaman mereka ini tentu saja dinisbahkan kepada seorang tokoh yang merupakan
penggagas awal dari paham tersebut. Dengan demikian terbentuklah kemudian
mazhab-mazhab dalam agama di mana dalam konteks hukum Islam ia disebut sebagai
mazhab fikih.
Secara umum
proses alami terbentuknya mazhab fikih dapat digambarkan sebagai berikut:
Proses Terbentuknya Mazhab Fikh |
Untuk
mengetahui sejarah kemunculan dan terbentuknya mazhab fikih, kita bisa
mengetahui dari periodisasi pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam melalui ta>ri>kh
al-tashri>’ al-isla>mi> sebagai berikut:
þ
Perode I: Hukum Islam pada masa Nabi saw (sampai dengan
10 H).
ü
Qur`an dan
Sunnah sebagai sumber utama.
ü
Ijtihad
secara terbatas dilakukan oleh sahabat untuk kemudian dimintakan justifikasinya
kepada Nabi.
ü
Naskh sebagai bentuk pentahapan
penerapan aturan hukum (al-tadarruj fi
al-tashri’).
ü
Ikhtila>f juga ada tetapi hanya bersifat insidental di
mana Nabi tetap merupakan kata pemutusnya.
þ
Pereode II: Hukum Islam pada masa Khulafa>` Ra>shidu>n (11 H-40 H).
ü
Standarisasi
teks Qur`an.
ü
Sumber utama
hukum Islam adalah Qur`an, Sunnah, dan Ijtihad.
ü
Hukum masih
bersifat praktis.
ü
Muncul kaum
Syi’ah dan Khawwarij.
Pada pereode inilah ijma’ dan ikhtila>f mulai mewarnai hukum Islam. Perbedaan yang
terjadi di antara mereka dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: (i)
perbedaan interpretasi terhadap sejumlah ayat dalam Qur`an, (ii) perbedaan
dalam penggunaan sunnah sebagai sumber rujukan, dan (iii) perbedaan dalam hasil
ijtihad.
þ
Pereode III: Hukum Islam pada masa Umayyah.
ü
Pereode ini
merupakan pereode para ‘sahabat kecil’ (Ibn ‘Abbas, Ibn ‘umar, ‘Aisyah, dan
sebagainya) dan ‘tabi’in besar’.
ü
Pada masa ini
muncul polarisasi orientasi pemikiran hukum yakni antara kubu tradisionalis (ahl al-h}adi>th) di Madinah, dengan tokohnya Sa’i>d ibn al-Musayyib, dan kubu rasionalis (ahl al-ra`y) di Kufah dengan tokohnya Ibra>hi>m
al-Nakha’i>. Kedua kubu ini oleh sebagian ahli hukum Islam disebut dengan ‘mazhab
fikih kuno’ (the ancient schools of
juriprudence). Kubu tradionalis mendasarkan ajarannya pada Ibn ‘Abbas, Ibn
‘Umar, dan ‘Aisyah; sementara kubu rasionalis mendasarkannya pada Ibn Mas’u>d, ‘Ali> ibn Abi> T{a>lib, dan Shurayh}.
ü
Harus dicatat
di sini bahwa masing-masing fukaha pada masa ini merupakan fakih yang
independen.
þ
Pereode IV: Hukum Islam pada masa para Imam Besar,
munculnya mazhab hukum, dan diikuti masa taklid.
ü
Imam-imam
mazhab yang muncul pada pereode ini:
§ Abu Hanifah (80-150 H) dan Malik ibn Anas (93-179
H). Keduanya merupakan generasi ta>bi’
al-ta>bi’i>n. Sumber hukum yang utama adalah
Qur`an, Sunnah, pendapat sahabat (terutama ijma’ di antara mereka dan hukum
yang diadopsi oleh khalifah yang empat), dan ijtihad. Malik lebih banyak
mendasarkan pada pendapat sahabat daripada Abu Hanifah.
§ Layth ibn Sa’d (w. 175 H), fukaha besar dari
Mesir, Muh}ammad ibn al-H{asan al-Shaybani> (sahabat dan sekaligus murid Abu Hanifah), Muh}ammad ibn
Idri>s al-Sha>fi’i> (150-204 H), dan Ahmad ibn Hanbal (164-241).
§ Imam-imam yang juga besar perannya dalam pemikiran
hukum Islam, antara lain: Ibn Shubrumah (w. 144 H) dan Sufyan al-Thawri> (w. 161 H) dari Kufah, H{ammad ibn Zayd (w. 179 H) dari Basrah, Awza’i> (w.
157 H) dari Damaskus, T{abari> (w. 310 H), Da>wud ibn ‘Ali> (202-270 H). Di samping itu terdapat juga imam-imam mazhab dalam
lingkungan Syi’ah, seperti Zayd ibn ‘Ali> (80-122H), imam mazhab
Zaydiyah, dan Ja’far al-S{a>diq (80-148 H), imam mazhab Ja’fariyah.
ü
Pada pereode
inilah ilmu usul fikih mulai menemukan bentuknya, yakni dengan disusunnya kitab
al-Risa>lah oleh al-Sha>fi’i>. Di dalamnya ia menekankan pentingnya Qur`an, sunnah s}ah}i>h}ah, ijma’ seluruh ulama, dan qiyas sebagai
sumber utama hukum Islam. Pada saat yang sama ia mengesampingkan istih}sa>n, ijma’ sebagian ulama lokal, riwayat yang tidak s}ah}i>h} dan praktek masyarakat Madinah.
ü
Ahmad in
Hanbal merupakan tokoh tradisionalis yang terkemuka. Tokoh lainnya antara lain:
Ish}a>q ibn Ra>hawayh, dan Yah}ya> ibn Sa’i>d. Mereka mendasarkan hampir seluruh pendapat hukumnya kepada Qur`an,
Sunnah (yang bagaimanapun nilainya, asal bukan mawd}u>’), pendapat sahabat dan tabi’in tanpa membedakan domisili maupun
bagaimana ijtihadnya.
ü
Masa pasca
imam-imam besar (abad III H) aktivitas pemikiran hukum mulai bercorak taklid,
hanya saja bentuknya tidak separah pada masa-masa sesudahnya. Menurut
al-Dahlawi, dengan mengutip Abu Talib al-Makki, taklid dengan cara memberikan
pendapat hukum menurut pendapat seorang tokoh dan kemudian mengafiliasikan diri
di dalamnya serta mengajarkan kepada orang lain menurut apa yang dikatakan oleh
sang tokoh tidaklah dikenal pada abad pertama dan kedua. Hanya saja selama abad
ketiga taklid yang terjadi bukan sepenuhnya taklid di mana para fukaha kendati
berijtihad juga namun mereka dibatasi oleh prinsip-prinsip umum dalam mazhab
mereka masing-masing.
ü
Jumlah pasti
dari mazhab hukum yang pernah ada dalam sejarah peradaban muslim tidak bisa
diketahui sepenuhnya. Menurut Muhammad ibn ‘Ali al-Sanusi, misalnya, mazhab
Awza’i> merupakan mazhab yang dominan di Spanyol sebelum mazhab Maliki sampai
di sana pada akhir abad III H. Ia juga menyatakan bahwa di Madinah al-sala>m (Bagdad) pernah ada enam belas mazhab hukum
yang masing-masing memiliki penganut dan kitab serta tokoh-tokohnya hingga
Tartar menginvasi pada tahun 656 H.
ü
Jadi,
mazhab-mazhab hukum yang terkenal muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah
kemudian terus tumbuh dan berkembang pada masa-masa sesudah meninggalnya para
imam mazhab tersebut. Banyak di antara imam-imam mazhab tersebut yang muncul
pada masa yang bersamaan yang kemudian diikuti pula dengan kemunculan
mazhab-mazhab hukum yang menarik banyak pengikut dan terus eksis selama
berabad-abad setelah itu.
ü
Masa sesudah
abad III H: taklid secara bertahap semakin memantapkan pengaruhnya dan mazhab
hukumpun kemudian menjadi institusi yang mapan. Kebutuhan akan keseragaman
putusan hukum dan keinginan Khalifah untuk menjaga kepercayaan publik terhadap
sistem peradilan merupakan sebagian alasan yang mendorong penguasa untuk
memilih hakim-hakimnya dari penganut mazhab hukum yang populer di kawasan
tertentu. Praktis lembaga peradilan dibatasi hanya pada empat mazhab. Hal ini
tentu saja membawa pada pengadopsian single-state-school
system dan sistem hukum di berbagai kawasan dunia Islam dibatasi hanya pada
salah satu atau lebih dari empat mazhab tersebut.
þ
Pereode V: hukum Islam pada masa stagnasi (jumu>d) dan munculnya gerakan pembaruan yang bersifat individual.
ü
Ini merupakan
pereode taklid yang sesungguhnya (blind
imitation) dan stagnasi dalam pemikiran hukum Islam, yakni masa antara abad
VII-XIII H. Para fukaha pada masa ini menjadi sangat terikat tidak hanya kepada
pendapat para imam mazhab namun juga kepada pandangan dan penyimpulan dari para
sahabat sang imam dan fukaha lainnya dari generasi sebelumnya. Apa yang mereka
lakukan hanyalah menafsirkan, menyimpulkan, dan mengatasi perbedaan pendapat
yang terjadi dalam internal mazhab mereka masing-masing.
ü
Kendati
perode ini secara umum bercorak ‘taklid buta’, namun ada juga sedikit fukaha,
pada masa dan tempat yang berbeda, yang secara terbuka menentang mainstream taklid tersebut. Mereka
menyerukan kebebasan dalam berpikir dan penetapan hukum sebagaimana
dipraktekkan oleh para sahabat, tabi’in, dan para imam mazhab itu sendiri, di
mana mereka ini menyatakan bahwa taklid merupakan bid’ah (innovation) yang bertentangan, tidak hanya dengan Qur`an dan
Sunnah, tetapi juga ijma’ sahabat dan para fukaha awal (termasuk para imam
mazhab sendiri). Di antara mereka ini adalah ‘Izz al-Di>n ibn
‘Abd al-Sala>m, Ibn Taymiyyah, dan Ibn al-Qayyim pada abad VII dan VIII H; dan Wali> Alla>h al-Dah}lawi> (w. 1176 H) di India, al-S{an’a>ni> (w. 1182) di Yaman, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahha>b (w.
1206 H) di Madinah, al-Shawka>ni> (w. 1255 H) di Yaman, Sanusi (w. 1276 H), dan Shehu ‘Usman ibn Fodio
bersama Muhammad Ahmad al-Mahdi di Sudan pada abad XII dan XIII H.
þ
Pereode VI: Hukum Islam pada masa moderen.
Setidaknya ada tiga hal penting yang mewarnai
perkembangan hukum Islam pada masa moderen:
ü
Semakin
berkurangnya keterikatan pada satu mazhab tertentu.
§ Kajian hukum umunya dilakukan secara komparatif
antara berbagai mazhab.
§ Banyak negara Islam yang telah meninggalkan konsep
‘mazhab negara’.
§ Pemikiran bahwa hakim mesti mengikuti mazhab yang
dominan tidak lagi diterapkan, digantikan oleh pertimbangan mengenai pendapat
hukum mana yang paling reasonable,
tanpa memandang apakah ia sesuai dengan mazhab yang dominan di suatu kawasan
atau tidak.
ü
Kodifikasi
§ Al-Majalla>t (hukum sipil Usmani) yang diundangkan pada abad XIX M umumnya
dipandang sebagai undang-undang sipil pertama dalam sejarah hukum Islam.
§ Semenjak hukum Islam di banyak negara Islam berada
di bawah tekanan dan pengaruh Kolonialis Barat, hingga yang tersisa hanya hukum
keluarga saja, proses kodifikasi secara umum menjadi terbatas pada wilayah
hukum keluarga tersebut dan tidak banyak perhatian yang diberikan pada
aspek-aspek lainnya.
ü
Penelitian
Penelitian diarahkan pada pencarian terhadap
teori-teori hukum secara umum dan pengkajian ulang terhadap ketentuan-ketentuan
hukum yang dihasilkan oleh para fukaha terdahulu. Dalam hal ini hukum Islam
biasanya dibandingkan dengan satu atau lebih sistem hukum lain. Dari
kajian-kajian tersebut tidak jarang diperoleh kesimpulan bahwa beberapa kitab
fikih kuno kurang memadai dan komprehensif bagi kehidupan moderen, sehingga
diperlukan penyusunan buku baru untuk menggantikan yang lama sebagai text book.
Muhammad ‘Abduh dan Jamal al-Din al-Afghani
biasanya dipandang sebagai perintis dari kecenderungan ‘liberal’ tersebut.
Namun harus diingat bahwa gerakan pembaruan pada abad XII dan XIII H
sebagaimana telah disebutkan di atas juga berperan penting dalam membebaskan masyarakat
dari kepatuhan yang berlebihan kepada mazhab hukum tertentu.
ü
Dari
periodisasi tashri>’ Islam tersebut dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
§ Mazhab hukum terbentuk secara alami, dimulai pada
abad II H dan menemukan bentuknya yang mapan pada abad III H dan seterusnya.
Ketika sebuah formulasi pemikiran ditawarkan dan ternyata banyak yang tertarik
untuk mengikutinya kemudian secara luas disosialisikan dari generasi ke
generasi, maka terbentuklah sebuah mazhab pemikiran hukum.
§ Oleh karena pereode setelah abad II H pemikiran
hukum Islam didominasi oleh corak taklid, maka dua abad pertama disebut sebagai
masa pembentukan (Formative Period)
sementara pasca abad II H disebut sebagai masa pembakuan (post-formative period) di mana oleh sebagian ahli masa tersebut
dipandang sebagai awal mula pembentukan ortodoksi Islam.
§ Kajian terhadap masa pembentukan sangat penting
dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang ajaran Islam yang sesungguhnya
terutama ketika dikaitkan dengan kehidupan masyarakat moderen yang senantisa
berubah. Adapun pemikiran hukum Islam saat ini yang umumnya masih merupakan
warisan zaman klasik, merupakan pemikiran hukum yang berasal dari masa
pembakuan yang sulit untuk menghadapi perubahan demi perubahan dalam kehidupan
moderen yang dinamis.
[Sumber: A. M. Haj Nour, “The
Schools of Law: Their Emergence and Validity Today”, Journal of Islamic and Comparative Law, 7 (1977), p. 54-69]
Description: makalah Perbandingan Madzhab; Madzhab Fikh
Reviewer: Unknown
Rating: 4.0
ItemReviewed: makalah Perbandingan Madzhab; Madzhab Fikh
Reviewer: Unknown
Rating: 4.0
ItemReviewed: makalah Perbandingan Madzhab; Madzhab Fikh
Tidak ada komentar: